Oleh
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA*
Bulan Ramadhan erat kaitannya dengan membaca al-Qur’an. Sebab pada bulan ini, dikisahkan bahwa Malaikat Jibril turun ke bumi mendatangi Rasulullah SAW untuk bertadarus al-Qur’an. Secara ringkas dalam sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbās AS dijelaskan bahwa Malaikat Jibril setiap malam tepatnya pada Bulan Ramadhan beliau mendatangi Rasulullah SAW yang tidak lain adalah untuk membaca dan mempelajari al-Qur’an bersamanya.
Lebih jelasnya dalam riwayat dikatakan;
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
Dari Ibnu ‘Abbās berkata, “Rasulullah SAW adalah manusia yang paling lembut terutama pada bulan Ramadhan ketika malaikat Jibril AS menemuinya, dan adalah Jibril mendatanginya setiap malam di bulan Ramadhan, di mana Jibril mengajarkannya al-Qur’an. Sungguh Rasulullah SAW orang yang paling lembut dari pada angin yang berhembus” (HR. al-Bukhārī).
Dalam teks hadis di atas terdapat lafadz yang disebutkan fa-yudārisuhu al-Qur’ān. Artinya Malaikat Jibril dan Rasulullah SAW saling mudārasa, saling membaca dan mempelajari al-Qur’an. Demikian juga, dalam sebuah Syarah disebutkan Malaikat Jibril membaca al-Qur’an dan Rasulullah mendengarkan, kemudian sebaliknya Rasulullah membaca dan Malaikat Jibril mendengarkan atau memperhatikan. Dalam kesempatan itu pula Malaikat Jibril atas perintah Allah adalah sekaligus untuk mengoreksi bacaan Rasulullah SAW.
Dengan demikian, riwayat dari Ibnu ‘Abbas AS ini kemudian dijadikan dasar utama bahwa dalam tradisi yang terus berjalan pada bulan Ramadhan setiap malam kita mendengarkan di Masjid-masjid maupun Mushola-mushola ada tadarusan. Karena salah satu amal kebaikan di bulan Ramadhan yang banyak dijalankan seorang muslim adalah dengan tadarus al-Qur’an.
Dari riwayat tersebut paling tidak ada dua pelajaran yang dapat diambil;
Pertama, lafadz fa-yudārisuhu al-Qur’ān dalam hadis itu menjelaskan bahwasanya kegiatan tadarus al-Qur’an itu dilakukan oleh dua orang atau lebih; paling tidak membaca al-Qur’an tidak dilakukan dengan sendiri. Sebab, jika menelusuri lafadz dārasa-yudārisu berasal dari pola kata Arab fā’ala yang memiliki faedah arti li-musyārakah baina itsnaini yaitu suatu (kegiatan) kata kerja yang membutuhkan interaksi antara dua orang atau lebih.
Dengan demikian, Rasulullah telah memberikan contoh bahwa membaca (tadārus) al-Qur’an diperkenankan ada orang lain yang menyertainya sehingga bisa saling mengoreksi bacaannya. Maka tradisi tadarus di Masjid-masjid maupun Mushola-mushola itu di mana satu orang membaca dan yang lain memperhatikan atau mengoreksi.
Pada masa pandemi kali ini, di mana beberapa wilayah dalam kondisi zona merah di samping juga tetap melaksanakan protokol dari pemerintah untuk menjaga jarak dan tidak melakukan kerumunan, bukan berarti kemudian tidak bolehnya ke Masjid secara bersama-sama menghilangkan tradisi mudārasa. Sebab tradisi tadarusan tidak hanya dilakukan di Masjid atau Mushola, lebih afdhal lagi jika dilaksanakan di rumah, sehingga rumah yang tadinya sepi dapat jadikan ‘rumahku adalah masjidku, rumahku adalah pesantrenku dan pada akhirnya rumahku adalah surgaku.
Alhasil, jika di dalam rumah itu senantiasa dilaksanakan kegiatan mudārasa, maka secara otomatis seorang anak kerap akan meniru kebiasaan orang tua yang baik dengan saling tadarus al-Qur’an. Maka ini menjadi modal utama untuk mendidik anak-anaknya bernuansa Qurani.
Kedua, dalam membaca al-Qur’an, ada ayat lain disebutkan warattil al-qur’āna tartīlā-n (QS. al-Muzzammil [73]: 4), membaca al-Qur’an dengan tartil (perlahan-lahan/seksama).
Di dalam sebuah tafsir disebutkan bahwa maksud dari tartīl di sini adalah membaca al-Qur’an secara seksama. Maksudnya ialah membaca al-Qur’an dengan pelan-pelan, bacaan yang fasih, dan merasakan arti dan maksud dari ayat-ayat yang dibaca itu. Kendati demikian pembacaan al-Qur’an yang baik adalah sesuai dengan kaidah-kaidah tajwid.
Cara baca al-Qur’an seperti ini sekaligus menghilangkan sebagian kebiasaan dari masyarakat kita yang mana kejar target dalam seminggu harus khatam al-Qur’an. Misalnya, cara bacaannya tanpa mengindahkan aturan (tajwid), mana bacaan panjang dan mana bacaan pendek, yang terpenting cepat selesai dalam seminggu khatam. Maka, hal ini perlu dipertanyakan pada diri kita sendiri, niat membaca al-Qur’an itu untuk apa?
Padahal membaca al-Qur’an secara tartil mengandung hikmah, yaitu terbukanya kesempatan untuk memperhatikan isi ayat-ayat yang dibaca dan di waktu menyebut nama Allah, si pembaca akan merasakan kemahaagungan-Nya. Ketika tiba pada ayat yang mengandung janji, pembaca akan timbul harapan-harapan, demikian juga ketika membaca ayat ancaman, pembaca akan merasa cemas. Sebaliknya membaca al-Qur’an secara tergesa-gesa atau dengan lagu yang baik, tetapi tidak memahami artinya adalah suatu indikasi bahwa si pembaca tidak memperhatikan isi yang terkandung dalam ayat yang dibacanya (Tafsir Qur’an Kemenag).
Dari uraian di atas, dapat diambil pelajaran bahwa malaikat Jibril mendatangi Rasulullah SAW. Tentunya Rasulullah sangat berbahagia ketika cara bacaannya menjadi baik dan berkualitas, yakni mengkhatamkan al-Qur’an dengan tetap memperhatikan bacaan tajwid yang berkualitas, karena Rasulullah memperoleh ayat-ayat al-Qur’an itu bukan tanpa peraturan, bukan tanpa kaidah-kaidah, yang mana dibaca idzhār (jelas/terang), idghām (dengung), ikhfā’ (samar), panjang-pendeknya, dan lain sebagainya.
Yang terakhir, pada masa pandemi ini marilah kita gunakan semaksimal mungkin untuk bisa memperbaiki bacaan al-Qur’an di antara keluarga kita di dalam rumah, kita jadikan rumah kita senuansa Masjid atau Mushalla, dan kita hidupkan rumah dengan shalat dan tadarus al-Qur’an. Dengan demikian, membaca al-Qur’an otomatis tidak berhenti di situ, akan tetapi dapat dilanjutkan dengan mentadaburinya. Dalam ayat disebutkan afalā yatadabbarūna al-Qur’ān (QS. Muḥammad [47]: 24). Rasulullah pun akan sangat bahagia jika al-Qur’an tidak sekedar dibaca, tanpa mentadaburinya maka kurang maksimal jika al-Qur’an didudukkan sebagai pedoman kehidupan.
Demikian sedikit penjelasan yang bisa penulis sampaikan. Semoga penjelasan ini bisa menjadi landasan –pada bulan Ramadhan kali ini– kita semakin dekat dengan al-Qur’an, dapat mentadaburi isinya, dan bisa mengamalkan isinya. Wallahu A’lam!
Identitas Penulis
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Saat ini menjabat Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2019-2023. Sekaligus sebagai Pengasuh Padepokan Ngasah Roso “Ayatirrahman” Parung Bogor.
_____________________
**Kolom merupakan Rubrik Opini LINTASJATIM.com terbuka untuk umum. Panjang naskah minimal 400 kata dan maksimal 2500 kata. Sertakan riwayat singkat dan foto diri terpisah dari naskah (tidak dimasukan Ms. Word).
**Naskah dikirim ke alamat e-mail: redaksilintasjatim@gmail.com
**Redaksi berhak menyeleksi tulisan serta mempublikasi atau tidak mempublikasi tulisan.