Oleh
dr Ventin Yurista*
Indonesia mulai menapaki babak baru vaksinasi Covid-19. Setelah vaksinasi tenaga kesehatan, sejak Rabu (24/2) Kementerian Kesehatan telah memasuki tahap kedua program vaksinasi Covid-19. Vaksinasi ini ditargetkan menyasar 38.513.446 orang yang terdiri dari 21,5 juta kelompok lanjut usia dan hampir 17 juta petugas pelayanan publik. Vaksinasi tahap kedua diharapkan rampung pada Mei 2021.
Ironisnya, masih banyak masyarakat yang tidak bersedia divaksin. Survei Kementerian Kesehatan Indonesia, WHO, dan UNICEF pada November 2020 dengan responden lebih dari 112.000 menunjukkan, hanya 64,8% yang bersedia divaksin. Lainnya, 7,6% menolak keras vaksinasi Covid-19 dan 27,6% menyatakan tidak tahu.
Survei Indikator Politik Indonesia terhadap 1.200 responden yang dipilih secara acak dari seluruh Indonesia pada 1-3 Februari 2021 juga menunjukkan hasil serupa. Suvei tersebut mendapati hanya 45,1% dari kelompok usia 22-25 tahun yang bersedia divaksinasi. Berdasarkan survei tersebut, tiga alasan utama tidak bersedia divaksinasi adalah kekhawatiran akan efek samping vaksin, anggapan bahwa vaksin tidak efektif, dan perasaan tidak membutuhkan vaksin karena badannya sehat.
Penolakan generasi muda untuk divaksin tidak bisa dianggap remeh. Usia produktif cenderung memiliki mobilitas tinggi sehingga paling berisiko terpapar virus. Karena itu, menurut epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman, keterlibatan kelompok tersebut dalam program vaksinasi sangat penting untuk memutus transmisi virus corona serta menciptakan kekebalan kelompok (herd immunity).
Untuk itu, pemerintah perlu memperbaiki strategi komunikasi kepada masyarakat, khususnya kepada kaum muda. Edukasi yang benar tentang vaksin perlu ditingkatkan demi mencapai kesuksesan vaksinasi. Adanya pemaksaan dan sanksi terhadap penolak vaksin justru akan menambah ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah.
Perihal vaksin Nusantara, tak perlu digembar-gemborkan sebelum selesai uji klinis dan terbukti efektivitasnya. Begitu pula terkait vaksin mandiri, sebaiknya tak diwacanakan sebelum vaksinasi untuk kelompok risiko tuntas. Apalagi, adanya vaksin mandiri justru akan memicu komersialisasi kesehatan, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial bagi masyarakat yang tak mampu mengakses vaksin mandiri.
Tak bisa dipungkiri, penemuan vaksin Covid-19 adalah secercah harapan untuk menghentikan pandemi. Dalam Islam pun, vaksin menjadi salah satu cara yang digunakan untuk memutus wabah. Sebagaimana yang dilakukan pada masa Kekhilafahan Utsmani di Turki pada abad ke-18 saat terjadi wabah cacar.
Namun, vaksin bukanlah satu-satunya solusi. Wabah tidak serta merta hilang setelah dilakukan vaksinasi. Vaksinasi harus dilakukan secara simultan dengan program lain, yaitu 3M (memakai masker, menghindari kerumunan, dan menjaga jarak) dan 3T (testing, tracing, treatment). Pemerintah hendaknya juga senantiasa memberikan keteladanan untuk menaati protokol kesehatan, serta meningkatkan pemeriksaan swab PCR dan memfasilitasi sarana kesehatan.
Keseriusan pemerintah dalam perang melawan pandemi ini sangat dibutuhkan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. Sehingga masyarakat dapat turut berperan aktif dalam melawan pandemi, tanpa melalui paksaan dan hukuman.
Ibarat perang, pemerintah adalah pemegang komando, dan masyarakat adalah pasukan yang siap bertempur sesuai arahan. Sebagai pemimpin, jelas tak boleh bersikap meremehkan, apalagi perkara keselamatan dan kesehatan manusia.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw, ”Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam (kepala negara) adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya” (HR. Bukhari).
Identitas Penulis
*Penulis adalah Dokter umum di Malang
**Kolom merupakan Rubrik Opini LINTASJATIM.com terbuka untuk umum. Panjang naskah minimal 400 kata dan maksimal 2500 kata. Sertakan riwayat singkat dan foto diri terpisah dari naskah (tidak dimasukan Ms. Word).
**Naskah dikirim ke alamat e-mail: redaksilintasjatim@gmail.com atau ke Wa Center
**Redaksi berhak menyeleksi tulisan serta mempublikasi atau tidak mempublikasi tulisan.
**Redaksi berhak merubah judul untuk keperluan SEO (search engine optimization)