Peran Besar Para Ibu Wujudkan “Baiti Jannati” di Masa Pandemi

Oleh
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA*

Kita sering mendengar istilah baiti jannati, rumahku adalah surgaku. Ketika seseorang menikah, tentunya ingin mendambakan kebahagiaan rumah tangga yang dibangunnya. Ia juga ingin mendapatkan anugerah putra-putri yang saleh dan salehah yang bisa menjadi penyejuk hati (QS. al-Furqan/25: 74). Lantas bagaimana kita mewujudkannya di mana kondisi pandemi Covid-19 begitu dahsyat meneror sebagian penduduk bumi, termasuk Indonesia? Lalu bagaimana kiat-kiat untuk menciptakan suasana rumah menjadi surga?

Bacaan Lainnya

Tentu kita tahu betul, biasanya pada pagi hari anak-anak pergi ke sekolah dan mereka pulang pada jam tertentu. Namun, pada masa pandemi ini, sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan diliburkan atau dirumahkan. Putra-putrinya yang baru duduk dibangku sekolah diliburkan, yang asalnya mengenyam pendidikan di pesantren dipulangkan, sehingga rumah kembali terisi penuh oleh putra-putrinya.

Dari ujian ini tentu kita mendapat hikmah begitu besar, yaitu bagaimana cara kita menghidupkan kembali rumah kita. Rumah yang tidak hanya cukup digunakan berlindung dari hujan, dari panas matahari, karena pada hakikatnya kita membangun rumah itu hendaknya tujuan utama adalah untuk mempermudah beribadah kepada Allah swt.

Dan tidak sedikit keluhan para ibu ketika putra-putrinya tidak lagi pergi ke sekolah, karena pada dasarnya anak-anaknya itu akan tetap kembali di pangkuan ibu, al-umm madrasah al-ula (ibu sebagai sekolah pertama), yang mana ibu sangat berperan penting dalam mendidik putra-putrinya. Maka inilah nilai penting perlunya seorang perempuan harus berpendidikan, tidak harus sekolah formal, akan tetapi ada ikhtiar mencari ilmu yang datangnya dari Allah, yakni untuk memperkuat diri, meningkatkan ketakwaan, dan mendekatkan diri kita kepada Allah. Misalnya, mengikuti pengajian ibu-ibu majelis ta’lim, mendengarkan kajian-kajian yang dapat mendukung potensi, dan sebagainya.

Dalam prakata bijak disebutkan, sebagai perempuan yang baik ialah mereka yang dapat mendidik putra-putrinya dengan baik pula, dengan menanamkan ketaatan kepada Allah swt. Maka dari sini, ‘saya menegaskan sangat bangga menjadi perempuan, karena perempuanlah menjadi kunci kesuksesan anak-anaknya kelak.’

Kendati demikian, di sisi lain banyak suara para ibu bergemuruh terkait dengan kondisi pandemi saat ini ketika dihubungkan dengan posisi anak-anaknya. Di mana pada perkembangan dunia global dengan segala kecanggihan teknologi, acap kali mendengar para ibu mengeluhkan ketika anak-anaknya di rumah hanya bermain gadget (handphone), sehingga anaknya sulit diarahkan untuk ibadah shalat dan lain sebagainya.

Tapi yang perlu diingat di sini adalah tugas mendidik anak bukanlah semata-mata tanggung jawab penuh seorang perempuan –terutama seorang istri–, akan tetapi peran seorang laki-laki –terutama seorang suami– perlu menyokong dan menguatkan peran-peran yang tidak dimiliki segalanya oleh perempuan. Kerja sama suami-istri dalam mendidik putra-putrinya dipertaruhkan. Maka, tidak lazim kalau seorang suami menyalahkan seorang istri karena putra-putrinya tidak sukses dalam prestasi belajarnya.

Dengan demikian, momen berharga ‘bulan Ramadhan’ dibarengi pada situasi masa pandemi yang tentunya rumah menjadi ramai, maka hendaknya bersama-sama untuk mendidik putra-putri dengan baik. Kondisi ini pula, Allah menguji kita sebagai orang tua yang baik untuk bisa menjaga amanah itu dengan sebaik-baiknya. Dan pada kondisi ini, kita memiliki waktu banyak terhadap putra-putri kita.

Bagaimana seharusnya suami-istri menjadi tim yang solid, tim dalam satu rumah meningkatkan ibadah kepada Allah, baik ibadah vertikal dan horizontal, memperbaiki hubungan kepada Allah dan sesama manusia. Dari sini dapat dipahami, betapa tingginya nilai ajaran agama Islam dalam membina hubungan baik antara sesama manusia guna menciptakan kerukunan dan kesejahteraan masyarakat.

Apabila tim yang solid ini mampu menciptakan anak-anak saleh-salehah maka Allah menjanjikan tidak hanya bertemu di dunia tetapi juga di akhirat. Sebagaimana dalam QS. al-Ra’d/13: 23 disebutkan;

جَنّٰتُ عَدْنٍ يَّدْخُلُوْنَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ اٰبَاۤىِٕهِمْ وَاَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيّٰتِهِمْ وَالْمَلٰۤىِٕكَةُ يَدْخُلُوْنَ عَلَيْهِمْ مِّنْ كُلِّ بَابٍۚ

“(yaitu) surga-surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya bersama dengan orang yang saleh dari nenek moyangnya, pasangan-pasangannya, dan anak cucunya, sedang para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu”

Ayat-ayat sebelumnya menjelaskan terkait sifat-sifat ulul albab, yang salah satunya mereka senantiasa sabar dalam menghadapi cobaan dan rintangan demi mengharapkan ridha Allah. Dan ulul albab akan mendapatkan jannatu ‘adn. Di sini surga disebutkan jannatu ‘adn yadhkhulunaha, orang-orang yang diberi oleh Allah akan dimasukkan jannatu ‘adn. Ia tidak sendirian akan tetapi bersama keluarga besarnya (ābāihim) adalah keturunan ke atas, azwājihim yakni karena hubungan pernikahan (mushaharah) istri, mertua dan seterusnya, dan dhurriyātihim keturunan ke bawah yakni anak, cucu dan seterusnya.

Lebih jauh, ayat di atas dengan tegas bahwa Allah menerangkan bahwasanya yang akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak bukan hanya semata-mata yang memiliki sifat tersebut, melainkan juga orang-orang saleh di antara ibu-ibu dan nenek moyang mereka, demikian pula istri dan keturunan mereka yang terdekat. Mereka ini pun turut pula merasakan kebahagiaan dan kesejahteraan itu, selama mereka tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan mereka kehilangan hak untuk memperoleh rahmat Allah.

Ayat ini memberikan isyarat bahwa pada hari tersebut tidak berlaku hubungan kekeluargaan sedikit pun kecuali amal saleh masing-masing. Sebagaimana firman Allah: Apabila sangkakala ditiup maka tidak ada lagi pertalian keluarga di antara mereka pada hari itu (hari Kiamat), dan tidak (pula) mereka saling bertanya (al-Mu’minun/23: 101).

Namun, tentu saja rahmat Allah selalu menyertainya, di mana Allah menjanjikan kepada kita berkumpul dalam sebuah rumah, tidak hanya di dunia, tapi di surga pun nanti kita akan bertemu dengan nikmat yang luar biasa bersama anak-cucu dan para leluhur kita semua. Ayat ini tetap menegaskan adanya konsekuensi bagaimana kita menshalihkan ābāihim wa azwājihim wa dhurriyātihim. Ini peran kita bersama untuk bisa mencetak generasi yang saleh.

Perkara ini tidak mudah, semua ini membutuhkan proses yang istiqamah, dan senantiasa berdoa semoga menjadi hamba yang saleh di mata Allah. Wallahu A’lam!

Identitas Penulis
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Saat ini menjabat Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekaligus sebagai Pengasuh Padepokan Ngasah Roso “Ayatirrahman” Parung Bogor.

_____________________

**Kolom merupakan Rubrik Opini Lintasjatim.com terbuka untuk umum. Panjang naskah minimal 400 kata dan maksimal 2500 kata. Sertakan riwayat singkat dan foto diri terpisah dari naskah (tidak dimasukan Ms. Word).
**Naskah dikirim ke alamat e-mail: redaksilintasjatim@gmail.com
**Redaksi berhak menyeleksi tulisan serta mempublikasi atau tidak mempublikasi tulisan.

Pos terkait