LINTASJATIM.com, Sidoarjo – Upaya pencegahan dan penanganan covid-19 yang sudah dilakukan baik oleh Gugus Tugas Kabupaten maupun di tingkat desa sudah berjalan lancar meskipun ada beberapa kendala yang sebenarnya bisa dibahas antara pemangku kebijakan dengan pelaksana kebijakan sebelumnya peraturan itu disosialisasikan.
Menurut Listiyono Santoso akademisi Filsafat dan Etika di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga, Surabaya menjelaskan, bahwa poin penting dalam pencegahan covid-19 adalah bagaimana seluruh masyarakat termasuk Gugus Tugas menyadari pentingnya hidup sehat dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana protokol kesehatan yang tentunya tidak bisa disamakan dengan protokol keamanan.
“Kita jarang melihat (tidak semua) dimasing-masing rumah warga yang menerapkan protokol kesehatan seperti adanya tempat cuci tangan pakai sabun, hand sanitizer, physical distancing,” ungkapnya.
Listiono Santoso yang juga ketua RT di wilayah Kecamatan Buduran Kabupaten Sidoarjo itu menjelaskan untuk memastikan bahwa semua elemen masyarakat menerapkan protokol kesehatan itu sangat sulit.
Banyak hal yang mendasari kenapa seluruh elemen masyarakat belum terbiasa dengan protokol kesehatan. Pertama, masyarakat dituntut untuk mandiri dalam pemenuhan sarana dan prasarana protokol kesehatan.
Kedua, pemenuhan kebutuhan masyarakat baik dari segi ekonomi, pendidikan maupun kebudayaan yang tidak bisa ‘digebyah uyah sama asinnya’, tetapi harus ada pemetaan tidak hanya pemetaan kondisi kesehatan yang sejauh ini belum dapat ditunjukkan hasil Swap Testnya, namun juga harus dilakukan pemetaan kondisi ekonomi, budaya dan pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada penyelenggara tetapi juga pelaksananya.
Penanganan Covid-19 di kabupaten Sidoarjo harusnya memberikan edukasi baru bagi masyarakat tentang prinsip hidup disiplin. Bukan kenormalan baru yang menghilangkan kedisiplinan semua elemen warga kabupaten Sidoarjo.
Salah satu contoh kongkrit pemberian subsidi untuk petugas Chek Point yang ada di desa yang semestinya dapat dilakukan melalui mekanisme Bantuan Keuangan Kabupaten (BKK) dan atau diberikan melalui pemerintah desa yang nantinya dapat disalurkan kepada RW.
“Jika dalam surat edaran bantuan subsidi sebesar 3 juta rupiah tersebut dipergunakan untuk transport dan mamin petugas Chek Point yang ada di desa, maka pemberi bantuan harus mengetahui bahwa jumlah Chek Point yang ada di desa tidaklah sama dengan jumlah RW yang ada di desa setempat,” jelas Listiono akademisi Unair Surabaya yang bergelar Doktor itu kepada awak media.
Silang sengkarut nya penanganan Covid-19 di Kabupaten Sidoarjo ini bukanlah sebuah kenormalan baru yang harus dilestarikan tetapi sebuah pelajaran baru bahwa pemangku kebijakan dan pelaksana kebijakan harus benar-benar ‘tangguh’ dalam berbagai bidang.