Oleh
Achmad Murtafi Haris*
Suatu ketika di UIN Sunan Ampel Surabaya diadakan kegiatan peningkatan kapasitas dosen dalam penulisan paper di jurnal internasional terindeks Scopus. Dipaparkan oleh narasumber pilihan diksi-diksi bahasa Inggris yang lebih tepat dan strong dalam penulisan paper.
Seperti untuk mengatakan “melakukan research” jangan diterjemahkan “doing research”, tapi gunakan “conducting research”. Kata ‘doing’ kurang berbobot untuk academic writing. Banyak lagi yang disampaikan yang intinya terkait bagaimana paper yang ditulis qualified untuk dimuat di jurnal internasional.
Tentang jurnal internasional, syarat awal untuk dimiliki adalah kemampuan berbahasa Inggris dengan baik. Tanpanya, nonsense.
Materi academic writing Mensyaratkan tingkat kemampuan bahasa Inggris tertentu. Idealnya, ia bagi mereka yang telah mencapai skor Toefl ITP di atas 500. Di bawah itu, sulit rasanya pembelajaran efektif.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 92 Tahun 2014 tentang Syarat Menjadi Profesor (dan yang telah profesor) yang mewajibkan menulis di jurnal terindeks Scopus menjadi dipertanyakan pula efektifitasnya.
Ia bahkan mengakibatkan moralitas akademik tergadai. Penelitian yang seharusnya merupakan passion dalam membuktikan, menerangkan (yang tampak) dan mengungkap (yang tidak tampak/metafisika), kata Abid Aljabiri, menjadi kegiatan yang penuh lika-liku di luar inti kerja penelitian. Padahal, Francis Bacon (w. 1626), bapak empirisme, karena saking semangatnya meneliti ketahanan daging ayam dari kebusukan jika berada di tempat dingin, dia sampai sakit dan akhirnya meninggal.
Tuntutan publikasi internasional justru memunculkan banyak biro jasa dengan biaya yang tidak murah, mulai dari 18jt hingga 60jt. Parahnya lagi, setelah dicek, ternyata paper published di jurnal predator alias abal-abal.