Getol Impor, Rakyat Selalu Tekor

Dwi Indah Lestari, S.TP
Dwi Indah Lestari, S.TP

Oleh
Dwi Indah Lestari, S.TP*‪

Tahun baru 2021, dibuka dengan jeritan para perajin tahu tempe. Pasalnya, harga bahan baku pembuatan salah satu makanan khas Indonesia ini yaitu kedelai naik drastis. Kabarnya salah satu komoditas bahan pangan ini termasuk yang getol diimpor. Wajarlah saat biayanya melejit, rakyatlah yang harus selalu tekor.

Bacaan Lainnya

Konsumen di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur mengeluhkan tidak tersedianya tahu dan tempe di pasaran. Imbas dari naiknya harga kedelai impor dari Rp.7200,00 per kilogramnya menjadi Rp.9200,00 perkilogramnya, membuat para produsen tempe tahu sepakat melakukan mogok produksi, demikian keterangan dari Sekretaris Pusat Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Puskopti) DKI Jakarta Handoko Mulyo (merdeka.com, 4 Januari 2021).

Getol Impor, Ketahanan Pangan Rapuh

Kuat tidaknya sebuah bangsa, dapat dinilai dari ketahanan yang dimilikinya, salah satunya adalah ketahanan pangan. Yang dimaksud ketahanan pangan sendiri bukan hanya dilihat dari ketersediaan jumlah dan jenisnya yang mencukupi, namun juga dilihat dari kemampuan masyarakat untuk bisa mengaksesnya.

Bila melihat pada kasus kedelai saat ini, terlihat bahwa ketahanan pangan Indonesia sebenarnya masih rapuh. Kondisi ini bisa disebabkan karena beberapa hal berikut ini;

Pertama, getolnya pemerintah melakukan impor bahan pangan. Tak hanya kedelai, garam, gula hingga beras pun menjadi bahan kebutuhan pangan yang kerap diimpor oleh pemerintah. Hal ini menyebabkan Indonesia sangat tergantung pada negara lain dalam menyediakan stok bahan pangan dalam negeri. Wajarlah bila harganya pun sering tidak stabil mengikuti kepentingan negara pengimpor.

Berdasarkan data dari BPS, impor kedelai Indonesia mencapai 2.670.086 ton pada tahun 2019, naik 84.277 ton dari jumlah pada tahun 2018. Data BPS juga mencatat impor gula  mencapai angka tertinggi di Juni 2020 yaitu 883.927 ton. Impor jagung juga naik dari 84.102 ton (Januari) menjadi 177.192 ton di Maret 2019. Sementara tahun 2020, Bulog juga pernah kelebihan stok beras impor, sebanyak 900 ribu ton tidak tersalurkan sejak tahun 2018.

Kedua, liberalisasi sumber daya alam, terutama sumber daya lahan, yang dilegalisasi oleh undang-undang. UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan telah membuat penguasaan lahan oleh korporasi swasta maupun asing menjadi semakin mudah. Tidak hanya itu saja, para pemilik kapital ini pun bisa dengan mulus melakukan alih fungsi lahan.

Hal ini menyebabkan lahan yang seharusnya menjadi area tanam tanaman pangan mudah beralih menjadi area pemukiman atau pabrik sesuai kepentingan korporasi. Akibatnya lahan tanam menjadi berkurang. Sehingga produktivitas bahan pangan lokal tak dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyatakan bahwa 86 persen lahan di Indonesia dikuasai oleh korporasi besar.

Ketiga, kurangnya dukungan pemerintah dalam meningkatkan produktivitas petani. Dalam kasus kedelai misalnya, Menteri Pertanian mengatakan minat petani kedelai untuk terjun dalam menanam kedelai tidak besar karena harganya yang menurut mereka tidak menarik. Padahal kebutuhan kedelai dalam negeri sangat besar, yaitu sebanyak 2,6 juta ton setiap tahunnya (menurut data BPS).

Namun alih-alih menggenjot produktivitas petani kedelai, pemerintah malah mengambil kebijakan membuka kran impor. Padahal banyak program yang bisa dilakukan untuk memberdayakan para petani, seperti pengembangan riset produk kedelai dan penyaluran modal untuk para petani kedelai, agar kedelai lokal menjadi raja di negeri sendiri dan harganya lebih stabil.

Belum lagi biaya produksinya yang mahal. Mulai dari penyediaan benih, pupuk, pestisida dan alat pertaniannya saja banyak modal yang harus dikeluarkan. Sementara harga produk bahan pangan tidak cukup bersaing, sehingga produksi bahan pangan di dalam negeri tidak pernah mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. Bila negara tak turun tangan dengan memberikan modal, dipastikan para petani lokal banyak yang tidak mampu melakukan aktivitas produksi.

Keempat, distribusi bahan pangan yang masih carut marut. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan adanya praktek-praktek kartel oleh para spekulan dan korporat. Bahkan korporasi seringkali turut campur menentukan impor pangan. Pemenuhan pangan mulai dari produksi hingga distribusi pun akhirnya dikendalikan oleh mafia impor, yakni para pemilik modal (kapitalis).

Praktek kartel pada lini distribusi ini juga menyebabkan terjadinya permainan harga oleh korporat. Belum lagi hal inipun menjadikan praktek penimbunan kerap terjadi, demi meraup untung yang besar. Itulah yang menyebabkan harga bahan pangan menjadi tidak stabil. Seperti yang terjadi pada kenaikan harga bahan pangan pada akhir tahun 2020 kemarin dan kedelai pada awal tahun 2021.

Hal-hal itulah yang menyebabkan sulitnya ketahanan pangan terwujud. Padahal Indonesia dikaruniai sumber daya alam berupa lahan yang sangat subur akan zat hara dan iklim tropis yang mendapatkan limpahan sinar matahari sepanjang tahunnya. Sehingga kegiatan produksi pertanian dapat dilakukan setiap waktu.

Seandainya kekayaan alam tersebut diolah sebaik-baiknya akan sangat besar peluang negeri ini dapat berdikari dalam pemenuhan kebutuhan pangannya. Sayangnya negara justru mengabaikannya. Rakyatlah yang akhirnya terus merasakan getah pahitnya. Beban hidup semakin berat, kebutuhan pangan mereka pun tak terjamin.

Dikari Pangan

Indonesia terkenal sebagai negeri gemah ripah loh jinawi. Semestinya bangsa ini bisa mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Hal ini bisa diwujudkan bila kebijakan negara sungguh-sungguh berpihak pada kepentingan rakyat bukan segelintir orang kapitalis.

Negara harus serius memberdayakan sumber daya yang dimilikinya, baik lahan maupun sumber daya manusianya. Untuk dapat mewujudkan ketahanan pangan yang kokoh, setidaknya pemerintah dapat melakukan hal-hal berikut.

Pertama, mengoptimalkan lahan yang tersedia baik dengan intesifikasi maupun ekstensifikasi. Lahan yang ada kemudian diolah secara mandiri dengan memberdayakan para petani untuk menghasilkan bahan pangan yang dibutuhkan dalam jumlah yang mencukupi.

Kedua, memberikan dukungan baik dalam bentuk subsidi, modal maupun pelatihan metode bertani yang modern dan efektif kepada petani. Dengan begitu kemampuan petani untuk menghasilkan produk-produk bahan pangan akan lebih optimal.

Ketiga, pengembangan riset bagi produk-produk bahan pangan, seperti penelitian untuk menemukan bibit unggul, teknik bertani yang tepat dan lain-lain.

Keempat, penguasaan sarana yang dibutuhkan oleh petani untuk berproduksi. Seperti penyediaan pupuk, benih, pestisida, alat-alat pertanian, semuanya harus diatur dan dikendalikan oleh negara. Bahkan negara bisa memberikan sarana-sarana tersebut dengan harga murah atau gratis kepada para petani. Negara juga harus memastikan akses petani mudah untuk mendapatkannya.

Kelima, negara tidak boleh membiarkan lahan-lahan yang produktif dialihfungsikan atau dikuasai korporasi apalagi asing. Negara harus mengolahnya sendiri dengan memberdayakan para petani. Keenam, mengendalikan dan membatasi impor. Impor hanya dilakukan dalam kondisi saat produktivitas pangan dalam negeri memang tidak mencukupi setelah segala upaya untuk memproduksinya telah dilakukan. Impor harus dihentikan saat produktivitas dalam negeri sudah mampu tercukupi dari dalam negeri sendiri.

Ketujuh, negara wajib menguasai distribusi agar tersebar merata. Dalam hal ini negara wajib membangun fasilitas yang mempermudah sampainya produk-produk bahan pangan ke seluruh wilayah. Termasuk di dalamnya adalah mencegah terjadinya praktek kartel dan penimbunan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mempermainkan harga untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Bila ada yang melanggarnya, negara wajib menindak dan memberikan sanksi berat.

Kedelapan, negara tidak perlu melakukan intervensi harga di pasar pada komoditas pangan yang ada. Harga yang tercipta sebaiknya terjadi secara alami sesuai mekanisme pasar, sehingga produsen akan mendapatkan harga yang bersaing. Negara juga harus mencegah pihak-pihak lain yang ingin campur tangan dalam menentukan harga. Bila terjadi kelebihan produksi, negara dapat membelinya untuk disimpan dan dikeluarkan saat kondisi membutuhkan, seperti saat bencana atau paceklik.

Inilah yang bisa dilakukan oleh negara dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan. Kondisi ini akan bisa diimplementasikan bila negara mampu bersikap independen jauh dari intervensi negara lain atau setiran organisasi internasional. Dengan ketahanan pangan yang kuat, kebutuhan pangan rakyat dapat dipenuhi secara swasembada bebas dari jeratan impor. Negara betul-betul memposisikan diri sebagai pengurus rakyatnya dan kesejahteraan masyarakat akan terwujud. Wallahu’alam bisshowab

Identitas Penulis
*Penulis adalah Pemerhati Persoalan Publik

_____________________

**Kolom merupakan Rubrik Opini LINTASJATIM.com terbuka untuk umum. Panjang naskah minimal 400 kata dan maksimal 2500 kata. Sertakan riwayat singkat dan foto diri terpisah dari naskah (tidak dimasukan Ms. Word).
**Naskah dikirim ke alamat e-mail: redaksilintasjatim@gmail.com atau ke Wa Center
**Redaksi berhak menyeleksi tulisan serta mempublikasi atau tidak mempublikasi tulisan.
**Redaksi berhak merubah judul untuk keperluan SEO (search engine optimization)

Pos terkait