LINTASJATIM.com, Surabaya – Jawa Timur kembali membuat rekor penambahan kasus baru COVID-19. Pada Jumat, 26 Juni 2020 terdapat tambahan 356 kasus terkonfirmasi positif COVID-19. Sehingga jumlah total pasien mencapai 10.901.
Jumlah ini melebihi kasus positif di Jakarta yang pada Jumat, 26 Juni 2020 total kasus mencapai 10.796. Hal ini membuat Jawa Timur menjadi provinsi yang memiliki kasus positif COVID-19 paling tinggi di Indonesia.
Ketua Gugus Kuratif Penanganan COVID-19 Jatim, Joni Wahyuhadi mengungkap per Jumat (26/6/2020), Surabaya Raya menyumbang 65,9 persen dari semua kasus di Jatim atau setara dengan 7.053 kasus. Disusul oleh Kabupaten Pasuruan 297 kasus, Jombang 230 kasus dan Lamongan 228 kasus.
Joni mengungkap beberapa penyebab tingginya kasus COVID-19 di Jawa Timur salah satunya karena pemerintah provinsi melacak kasus COVID-19 secara masif, khususnya bagi orang tanpa gejala (OTG).
“Kalau beberapa minggu yang lalu dilaporkan rapid test di Jatim mencapai 213.211, per hari ini (Jumat, 26/6/2020), rapid test yang telah dilakukan sudah mencapai 465.149 test, ini merupakan angka test tertinggi di Indonesia,” kata Joni kepada Liputan6.com, Jumat (26/6/2020).
Selain itu tes Polymerase Chain Reaction (PCR) juga sudah dilakukan kepada 53.503 sampel. Hasilnya, kata dia, proporsi OTG Jatim yang dulunya adalah 21 persen kasus konfirmasi positif, per hari ini terdapat 41 persen kasus atau setara dengan kurang lebih 4.100 pasien positif.
“OTG ini lah yang harus diamankan karena apabila menulari pasien komorbid atau orangtua, akan berbahaya,” ujar dia.
Sebenarnya, kata Joni, Pemprov Jatim sudah melakukan sosialisasi protokol kesehatan secara masif. Misalnya melalui edukasi di berbagai macam platform media massa, media sosial, maupun pendekatan komunitas melalui kampung tangguh. Selain itu, ada payung hukum yang disediakan dalam Pergub PSBB, maupun Peraturan Wali Kota.
Pemprov Jatim juga sudah membagikan 2,5 juta masker dan 27 ribu liter hand sanitizer hingga saat ini.
Ke depan, kata dia, pemerintah provinsi Jatim akan mengajak komunitas, tokoh agama, tokoh masyarakat, pengusaha dan influencer untuk berpatisipasi memberi teladan dan mengajak warga Jatim menggunakan masker. “Di New York sudah terbukti bahwa bila 60 persen warga mau pake masker, kasus baru akan turun drastis,” ucap dia.
Untuk mengatasi masalah ini, kata Joni, Pemprov Jatim akan terus berkoordinasi dengan kabupaten dan kota untuk melakukan testing, treatment, tracing dan isolasi. Testing massif yang telah dilakukan oleh kabupaten kota, kata dia, sudah on the track karena kunci pengendalian pandemi adalah deteksi segera dan isolasi.
“Terbukti bahwa Jatim sudah menjadi daerah dengan rapid test tertinggi di Indonesia,” ujar dia.
Kemudian, Joni melanjutkan, Pemprov Jatim juga sudah meningkatkan kapasitas swab dan PCR dengan menambah rumah sakit dan laboratorium yang bisa melakukan PCR dari 17 menjadi 27 titik. Serta melatih puskesmas di 38 kabupaten/kota untuk melakukan swab.
“Kapasitas RS juga terus ditingkatkan, khususnya RS Darurat yang saat ini akan ditambah 200 bed dan SDM ditingkatkan dengan tenaga bantuan dari TNI sebanyak 88 orang dan dari Kemenkes RI,” kata Joni.
Selanjutnya, kata dia, rasio lacak dan isolasi juga terus ditingkatkan, minimal harus ditemukan 20-25 kontak erat tiap kasus positif. Hasil dari penanganan ini, lanjutnya, juga selalu diolah oleh data scientist dan epidemiologist untuk memutuskan rencana selanjutnya.
“Kami optimis dengan penanganan berbasis data dan rekomendasi dari para ahli, pemprov Jatim bersama pemerintah kabupaten/kota, TNI, polda dan masyarakat akan berhasil mengkontrol pandemi COVID-19 ini,” ujar dia.
Kerahkan Daya Upaya
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa juga menegaskan pihaknya akan berupaya semaksimal mungkin menekan angka penularan COVID-19 di Jatim.
“Sejak awal, kami sangat serius dalam menangani COVID-19 ini. Semua daya upaya akan kami kerahkan untuk menekan angka penularannya,” ungkap Khofifah di Surabaya, Jumat (26/6/2020).
Khofifah menerangkan, selama ini seluruh kebijakan yang dikeluarkan Pemprov Jatim diambil dengan terlebih dahulu melihat data dan fakta di lapangan. Masukan dari para pakar epidemiologi juga dijadikan pertimbangan dalam setiap pengambilan kebijakan.
Khofifah mengungkapkan, menuntaskan pandemi ini tidak bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri. Butuh sinergitas bersama seluruh elemen masyarakat agar rantai penularan COVID-19 ini bisa diputus.
“Termasuk di level pemerintahan itu sendiri. Dari pusat, hingga ke level provinsi dan berlanjut ke kabupaten maupun kota hingga desa harus linier. Tidak bisa beda-beda dan sendiri-sendiri,” tegasnya.
“Selain itu, butuh dukungan yang kuat pula dari semua elemen masyarakat. Mulai dari forkopimda, tokoh masyarakat, perguruan tinggi, ulama, pengusaha, dan juga media. Intinya tidak bisa sendiri-sendiri,” tambah dia.
Akibat Masyarakat Tak Disiplin
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Timur dr Sutrisno SpOG menuturkan, tingginya angka kasus positif Corona COVID-19 karena penularan di masyarakat cukup tinggi. “Virus ini menyebar dengan penularan berlipat-lipat,” ujar Sutrisno saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (26/6/2020).
Selain itu, menurut Sutrisno, screening atau tes berjalan di masyarakat semakin banyak sehingga akan dapat ditemukan banyak kasus positif. Sutrisno menilai, hal tersebut baik karena menemukan kasus terkonfirmasi positif Corona COVID-19.
“Screening lebih banyak cerminkan situasi riil. Kalau screening banyak tapi mengharapkan tambahan kasus positif tidak banyak maka itu tidak tepat. Screening makin luas akan menemukan banyak kasus,” ujar dia.
Sutrisno juga menuturkan, kepatuhan masyarakat juga semakin berkurang dalam hal menerapkan protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak, dan cuci tangan dengan air mengalir dan sabun.
Ia pun membenarkan, kalau disiplin masyarat dalam menggunakan masker dan menjaga jarak juga masih kurang. Hal ini ditunjukkan dari survei-survei yang dilakukan pihak kepolisian dan gugus tugas. “Di jalan raya, di keramaian, tidak disipin, tidak jaga jarak. Banyak survei, mulai tim gugus tugas, polres, sepakat kalau tingkat kepatuhan rendah,” ujar dia.
Ia menambahkan, ada episentrum baru seperti pasar terutama di Surabaya dan Malang juga berkontribusi dengan peningkatan kasus konfirmasi positif Corona COVID-19. “Potensi banyak orang itu maka kasus positif akan berlipat,” tutur dia.
Hal senada dikatakan Pakar Kesehatan Masyarakat dari Universitas Airlangga Dr Windhu Purnomo. Ia menuturkan, kasus positif Corona COVID-19 mencapai 10.901 orang menunjukkan masih ada penularan di masyarakat. Salah satunya yang menjadi perhatian Windhu yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur.
Windhu mengatakan, 50 persen kasus Corona COVID-19 di Jawa Timur ada di Surabaya. Berdasarkan data lawancovid-19.surabaya.go.id, Surabaya mencatatkan 5.157 pasien terkonfirmasi positif Corona COVID-19 hingga 25 Juni 2020.
“Kasus penularan di Surabaya masih berlangsung,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com.
Tingginya kasus Corona COVID-19 tersebut, menurut Windhu juga karena kepatuhan masyarakat rendah untuk menjalankan protokol kesehatan. Menurut Windhu, hal itu ditunjukkan dalam survei yang dilakukan Ikatan Alumni Sarjana Kesehatan Masyarakat (IKA-FKM Unair) dan Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi) kepada sekitar 3.800 responden yang dilakukan pada 30 Mei 2020.
“Jelang PSBB tahap dua berakhir, evaluasi PSBB tahap dua ke tahap tiga disampaikan berdasarkan survei 30 Mei yang dilakukan IKA FKM Unair dan Persaksmi, tingkat kepatuhan masyarakat memakai masker rendah,” kata dia.
Meski demikian, Windhu melihat masih ada harapan untuk Jawa Timur dan Surabaya. Ini ditunjukkan dari tingkat penularan atau rate transmission (Rt) COVID-19 di Jawa Timur dan Surabaya. Menurut Windhu, tingkat penularan COVID-19 di Jawa Timur dan Surabaya sudah di bawah 1. Oleh karena itu, ia mengharapkan pemerintah dapat mengendalikan tingkat penularan COVID-19 di bawah 1 selama 14 hari berturut-turut sehingga bisa masuk tatanan normal baru.
“Rt 0,8 di Surabaya tapi itu cuma satu hari. Di Jawa Timur sudah lima hari. Jawa Timur dan Surabaya ada harapan, ada cahaya. Rt di bawah satu tapi belum stabil. Pemerintah harus jaga Rt agar tak naik naik lagi,” kata dia.
Meski tingkat penularan membaik, Windhu mengatakan, attack rate (AR) atau angka serangan infeksi COVID-19 di Jawa Timur dan Surabaya belum membaik. Windhu menuturkan, AR Jawa Timur 26,4 per 100.000 penduduk. Angka ini lebih tinggi dari nasional yang mencapai 19,2 per 100.000 penduduk. Sedangkan Surabaya mencapai 148,9 per 100.000 penduduk.
“Kalau angka kasus konfirmasi positif 10.900-an, AR Jawa Timur itu 26,4 per 100.000 penduduk. Ini artinya 100.000 orang terkena COVID-19 sebanyak 26 orang, dan itu lebih tinggi dari nasional yang 19,2 per 100.000 penduduk,” ujar dia.
Jumlah Kematian di Jatim Tinggi
Selain itu, menurut Windhu, angka kematian karena COVID-19 di Jawa Timur juga lebih tinggi dari nasional. Tercatat angka kematian karena COVID-19 di Jawa Timur mencapai 7,3 persen. Di Surabaya, Jawa Timur, angka kematian mencapai 7,8 persen. Sedangkan nasional 5,2 persen.
“Artinya dari 100 pasien positif terkonfirmasi positif, 7 orang meninggal. Nasional 5,2 persen. Jawa Timur lebih tinggi dua persen, ini tidak boleh. Harusnya lebih rendah dari nasional, dan sama,” kata Windhu.
Windhu menuturkan, tingginya kasus kematian karena COVID-19 ini juga dipicu rumah sakit sudah kelebihan kapasitas. Hal ini karena penularan Corona COVID-19 masih terus terjadi di masyarakat.
Oleh karena itu, ia menegaskan, pengendalikan kepatuhan masyarakat harus dilakukan. Salah satunya dengan memberikan sanksi tegas.
“Membuat aturan dengan punishment. Dengan pergub, perwali yang lama tapi diamandemen dengan menambah sanksi tegas seperti menerapkan denda,” kata dia.
Selain itu, Ia mengharapkan kapasitas rumah sakit ditambah, dengan ada salah satu rumah sakit khusus menangani COVID-19. “Pemkot Surabaya memiliki dua rumah sakit, salah satunya untuk rumah sakit COVID-19 agar tidak over capacity,” ujar Windhu.
Sementara itu, Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM Unair) Djazuly Chalidyanto menuturkan, tingginya kasus Corona COVID-19 juga dipicu dari kemungkinan tes masif sehingga ditemukan banyak laporan kasus konfirmasi positif Corona COVID-19 karena banyak deteksi. Dia menilai, hal itu lebih baik terutama jika tes COVID-19 memakai PCR.
“Kasus COVID-19 tak ditemukan itu lebih bahaya. Lebih baik tes masif pakai PCR dan bukan rapid test. Di Surabaya melonjak kasus konfirmasi positif karena ada bantuan mobil PCR. Semakin banyak ditemukan kasus semakin baik,” ujar dia.
Akan tetapi, tes masif tersebut, menurut Djazuly juga perlu diikuti dengan tracing dan treatment yang baik. Dengan harapan angka kesembuhan meningkat dan menekan kematian karena Corona COVID-19.
Saat ditanya apakah penyebab tingginya kasus konfirmasi positif karena Corona COVID-19 karena warga abai pakai masker dan jaga jarak, menurut Djazuly, hal itu bisa jadi. Masyarakat tidak taat protokol kesehatan dengan tak makai masker dan mencuci tangan dengan air mengalir.
“Tapi itu juga harus dibuktikan dengan data karena bisa jadi banyaknya isolasi mandiri sekarang di rumah, bisa jadi tidak patuh protokol kesehatan sehingga dapat menulari orang di sekitarnya yang di rumah,” kata dia.
Djazuly pun mendorong agar tes masif tetap dilakukan. Tes masif tersebut juga diikuti dengan tracing yang baik. “Kemudian pengendalian kedisiplinan, misalkan harus memakai masker. Meski masker sekarang murah, mungkin bisa dianggarkan dana untuk memberikan masker gratis,” tutur dia.
Selain itu, ia menilai juga perlu dilakukan ruang isolasi mandiri yang baik, salah satunya yang sudah ada di Surabaya yaitu di Asrama Haji.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menyayangkan hasil survei tersebut, karena Surabaya Raya sudah menggelar Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga tiga tahap. Ditambah lagi masa transisi selama dua pekan yang berakhir pada 22 Juni 2020.
Namun, Khofifah juga mengaku, kebijakan-kebijakan yang sudah diterapkan di Surabaya Raya sebenarnya sudah menemui hasil.
“Kami ingin menyampaikan bahwa PSBB di Surabaya Raya itu sudah sempat sukses kalau dari sisi RT (Rate of Transmission atau tingkat penularan) di bawah satu. Jadi pada tanggal 20 sampai tanggal 26 Mei sesungguhnya sudah tepat di bawah satu,” ucap Khofifah.
Pentingnya Pakai Masker
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 di Indonesia, Achmad Yurianto mengungkap pentingnya menggunakan masker. Gugus Tugas pun mencoba menghitung data bahwa seseorang yang membawa virus dan tidak menggunakan masker kemudian melaksanakan kontak dekat dengan orang yang rentan dan tidak memakai masker, maka kemungkinan penularan 100 persen.
“Namun apabila orang yang sakit membawa virus tidak menggunakan masker sementara orang lain yang rentan kontak dekat menggunakan masker maka penularan turun sekitar 70 persen,” kata dia.
Kemudian, apabila orang yang membawa virus menggunakan masker dan orang lain sekitarnya tidak memakai masker, penularan turun menjadi sekitar 5 persen. Dan, apabila dua-duanya memakai masker maka kemungkinan penularan turun drastis menjadi 1,5 persen.
“Ini yang yakinkan kita, gunakan masker paling tepat dan gunakanlah masker secara benar. Tutup mulut dan hidung dengan baik, jaga jarak dan mencuci tangan,” tandas Yurianto.
Solusi dari IDI Jatim
Dengan tingginya Corona COVID-19 tersebut, menurut Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Timur dr Sutrisno ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menekan angka kasus positif Corona COVID-19.
Pertama, pemerintah pusat perlu turun tangan melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Hal ini dengan melakukan tes masif. Kedua, melibatkan tokoh masyarakat hingga tokoh agama untuk menerapkan disiplin protokol kesehatan terhadap lingkungan sekitarnya.
Protokol kesehatan itu mulai dari memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan air mengalir dengan sabun.
“Tokoh masyarakat mulai dari RT, RW, kelurahan, tokoh agama, kepala sekolah, kepala mal, mandor pabrik, harus mengerti COVID-19, dan menerapkan protokol kesehatan di lingkungan kerjanya masing-masing.Jadi semua tokoh ikut berperan semua,” kata dia.
Ketiga, menurut Sutrisno, perbanyak rumah sakit pelayanan dan rujukan diperbaiki. Dengan tes COVID-19 yang banyak, dan ditemui kasus positif Corona COVID-19 sehingga harus diisolasi.
Keempat, menurut Sutrisno pemerintah pusat juga perlu membantu pemerintah daerah (pemda) dengan testing dan alat pelindung diri (APD) sesuai dengan regulasi.
Kelima, Sutrisno menuturkan, perlu sanksi tegas yang diatur dalam peraturan gubernur (pergub), peraturan wali kota (perwali), dan peraturan bupati (perbup).
“Sanksi tegas itu perlu diterapkan,” ujar dia.
Keenam, Sutrisno mengimbau agar di pasar diberikan face shield atau alat pelindung wajah, dan masker kepada pedagang. Hal ini untuk mencegah penyebaran COVID-19 di pasar.
“Ini contohnya salah satu pasar di Trenggalek. Diterapkan protokol kesehatan. Ada masker, cuci tangan, face shield. Dengan demikian kegiatan ekonomi tetap jalan dan protokol kesehatan dijalankan,” ujar dia.
Source: liputan6.com, Lihat Artikel Asli