Oleh
Chusnatul Jannah*
Sudah enam bulan Indonesia dihantam corona. Ekonomi diambang resesi. Produktivitas masyarakat macet. Pendapatan rakyat menurun drastis. Bagi rakyat yang terbiasa bekerja, pandemi Covid-19 bisa membuat pusing kepala. Selain kebijakan pemerintah yang serba plin plan, pelayanan negara terhadap rakyat juga terkesan timpang.
Dari kebijakan PSBB berganti new normal. Lalu diganti lagi dengan istilah adaptasi kebiasaan baru. Namun, hingga detik ini mekanisme pengaturan agar ekonomi dan sistem kesehatan sama-sama terselamatkan tidak benar-benar dilakukan. Simpang siur dan serba bias.
Masyarakat mulai membiasakan diri berdamai dengan corona sebagaimana arahan Presiden tentang adaptasi kebiasaan baru. Saking terbiasanya, masyarakat kelewat cuek dan tidak peduli. Protokol kesehatan diabaikan. Kegiatan berkerumun seperti hajatan, nikahan, atau sekadar nongkrong di pinggir jalan nampak biasa saja. Seperti kenormalan saat belum dilanda wabah corona.
Kesalahan mengedukasi membuat masyarakat salah penafsiran. Alhasil, setelah masa PSBB dicanut, new normal diterapkan, kasus Covid-19 meningkat tajam. Satu sisi kesehatan terpuruk, di sisi lain ekonomi makin memburuk. Hal inilah yang dirasakan oleh sebagian besar masyarakat di akar rumput.
Seperti yang baru saja terjadi. Sejumlah massa yang mengatasnamakan Aliansi Pekerja Seni Jawa Timur melakukan unjuk rasa. Dikutip dari Jawapos, 5/8/2020, lebih dari 1.000 orang dari berbagai latar belakang seni melakukan demonstrasi sambil melakukan pertunjukkan seni. Mereka menuntut Pemerintah Kota Surabaya mencabut Perwali No.33 Tahun 2020 dan memperbolehkan kegiatan atau hajatan dari tingkat RT/RW sampai kota.
Mereka merasakan dampak Covid-19 membuat sepi orderan. Kegiatan yang bersifat mengumpulkan banyak orang dilarang. Sementara, mengapa kegiatan yang berpotensi membuat kerumunan seperti mal, pasar, dan pariwisata dibolehkan? Para pekerja seni ini merasa didiskriminasi oleh pemerintah. Aksi ini memang mengarah pada tuntutan agar roda perekonomian yang menjadi sumber pendapatan mereka bisa kembali berjalan normal.
Hal ini terindikasi dari spanduk yang mewakili suara hati mereka. Seperti ‘Gak nyanyi, gak iso mbayar panci’, ‘Gak tanggapan gak mangan, mosok kudu utang-utang?”. Para pengunjuk rasa itu terdiri dari beragam elemen: Paguyuban Sound System, Komunitas Singer Surabaya, Wedding Organizer, Event Organizer, Pendekor, dan sebagainya.
Pemulihan ekonomi dengan melonggarkan aturan PSBB, belumlah menyentuh pada solusi bagi ekonomi rakyat. Pemerintah seolah hanya memperhatikan pemulihan ekonomi makro saja. Sementara ekonomi rakyat bawah entah bagaimana.
Sadar atau tidak, pandemi Covid-19 telah membuka tabir bagaimana pola pengurusan negara terhadap kebutuhan rakyat. Sebab, selama ini, ada tidaknya negara, bagi rakyat seperti sama saja. Kehidupan ekonomi mereka topang sendiri. Kebutuhan dasar juga harus berusaha memenuhinya sendiri.
Pandemi Covid-19 yang berdampak pada ekonomi rakyat bawah harusnya bisa dipetik hikmahnya. Menjadi penguasa itu semestinya benar-benar memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi rakyat. Di antaranya, sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Sudahkah semua itu dipenuhi secara totalitas? Bukankah negara hadir untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut?
Ini bukan sikap manja rakyat kepada penguasa. Tapi pemenuhan kebutuhan dasar adalah hak rakyat dan kewajiban negara. Pemimpin pilihan rakyat seharusnya benar-benar peduli dengan nasib rakyat. Kepemimpinannya adalah untuk menunaikan amanah dan tanggung jawab kepada rakyat. Bukan menambah beban rakyat dengan kebijakan salah.
Negara harus memastikan kebutuhan rakyat terpenuhi, tersedianya lapangan pekerjaan yang layak, halal, dan berkah. Dengan begitu, ekonomi rakyat tak akan terpukul akibat pandemi. Sebab, kebutuhan dasar mereka sudah dijamin negara. Itu idealnya. Bila Negara menjamin, rakyat pasti bahagia lahir dan batin.
Kepemimpinan adalah amanah. Setiap amanah pasti dimintai pertanggungjawabannya. Ma’qil bin Yasar ra. ketika sakit dijenguk oleh Gubernur Ubaidillah bin Ziyad, maka Ma’qil berkata: Aku akan menyampaikan kepadamu suatu hadits yang telah aku dengar dari Rasulullah SAW, Beliau bersabda: “Siapa yang diamanati Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memimpinnya dengan tuntunan yang baik, maka ia tidak akan dapat merasakan bau surga. (HR Bukhari dan Muslim).
Identitas Penulis
*Penulis adalah Pengajar serta Anggota Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban
_____________________
**Kolom merupakan Rubrik Opini LINTASJATIM.com terbuka untuk umum. Panjang naskah minimal 400 kata dan maksimal 2500 kata. Sertakan riwayat singkat dan foto diri terpisah dari naskah (tidak dimasukan Ms. Word).
**Naskah dikirim ke alamat e-mail: redaksilintasjatim@gmail.com atau ke Wa Center
**Redaksi berhak menyeleksi tulisan serta mempublikasi atau tidak mempublikasi tulisan.
**Redaksi berhak merubah judul untuk keperluan SEO (search engine optimization)