Di bidang keagamaan pun terdapat ribuan manuskrip kuno. Pertanyaannya, akankah hal itu berkorelasi positif bagi gairah penelitian Indonesia yang sekarang berada di peringkat keempat di Asean?
Kewajiban publikasi internasional dirasa telah jauh mengalihkan esensi yang sebenarnya dari kerja penelitian. Kalau memang alat bahasa tidak dimiliki, janganlah dipaksa untuk mencapai reputasi internasional. Dukunglah mereka menjadi peneliti lokal yang produktif, kreatif dengan temuan yang luar biasa yang mampu menginspirasi dunia.
Bukan sebaliknya, sibuk mengurus satu paper yang untuk mendengar kabar ditolak saja menunggu tahunan. Kreatifitas pun mandeg lantaran tersita oleh tuntutan yang jauh.
Mengapa tidak dibuat alternatif aturan yang mampu mendorong penelitian seperti yang dilakukan oleh Agus Sunyoto dalam menggali jejak sejarah Islam awal di Indonesia, khususunya Wali Songo. Seperti halnya Tuanku Rao yang rajin mengoleksi manuskrip kuno yang salah satunya berasal dari naskah Cina kuno yang tersimpan di Kelenteng Sam Po Kong Semarang. Yang mana dari situ terungkap sejarah Laksamana Cheng Ho dan kaitannya dengan kedatangan Sunan Ampel ke Nusantara dari Campa pada awal abad kelima belas.
Ilmuan Indonesia di awal kemerdekaan telah menghasilkan karya dalam bentuk monografi yang telah diterjemahkan dalam bahasa asing oleh ilmuwan Barat. Seperti yang dilakukan oleh Benedict Anderson dan Cornell University yang banyak mengenalkan karya-karya intelektual Indonesia ke luar negeri, seperti karya Ir. Soekarno, Pramoedya Ananta Toer dan Mochtar Lubis.
Sebuah karya lokal yang genuine yang fenomenal (meski tidak berbahasa Inggris) yang patut ditiru oleh generasi masa kini. Sebuah model kerja ilmiah yang patut ditiru dan didukung pengembangannya dalam aturan terkait tridarma perguruan tinggi. Agar dunia akademis tidak terjebak pada standarisasi global yang justru menghilangkan potensi besar peneliti Indonesia meski tidak cakap berbahasa Inggris atau non english proficient.
*Dosen di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya