Hanya karena ia berdomisili di luar negeri ia dianggap internasional. Aturan publikasi paper di jurnal terindeks Scopus pun justru tidak hanya meninggalkan riak tapi limbah besar bagi dunia keilmuan Indonesia.
Dalam perbincangan dengan rekan Warek III Universitas Kristen Indonesia Maluku, Steve Gaspersz, terlontar ide agar kewajiban publikasi internasional tidak dikenakan kepada mereka yang tidak pernah mengenyam pendidikan di Barat atau yang kuliahnya berbahasa Inggris. Mereka yang murni alumni dalam negeri atau Timur Tengah, dibebaskan dari kewajiban tersebut.
Untuk mereka dibuatkan aturan yang berbeda yang mendorong berkembangnya potensi peneliti lokal dengan penekanan aspek genuine, significance dan prominence.
Bukankah teramat banyak obyek lokal yang terpendam dalam manuskrip, artifak dan budaya kita yang perlu diangkat dalam penelitian. Bukankah aspek lokalitas ketimuran (local wisdom) adalah sesuatu yang seksi di mata Barat.
Indonesia dengan 742 bahasa/dialek, 478 suku, luas 5,19 juta kilometernya, posisi antara dua benua dan dua samudra, jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dan kekayaan alam melimpah, adalah obyek yang tidak habis untuk diteliti.
Kekayaan sejarah yang konon Firaun (2000SM) telah datang ke Nusantara untuk mengambil kapur barus sebagai bahan kimia pengawet mummi, adalah obyek sejarah yang menarik ditelusuri. Juga tentang peran ulama Nusantara sebagai Imam besar (bukan sekadar ustadz biasa apalagi sekedar mutawwif) di Masjidil Haram sebelum kekuasaan Dinasti Sa’ud dan Wahabisme, adalah obyek penelitian yang mahal dalam kajian sejarah intelektual Islam global.
Deputi Pengembangan Bahan Pustaka dan Jasa Informasi Perpustakaan Nasional, Ofy Sofiana mengatakan, bahwa pihaknya akan mendigitalisasi 11.000 manuskrip kuno Indonesia. Proses input yang memakan waktu sudah dimulai.