Model Pilkades yang paling sederhana pada jaman penjajahan Belanda adalah dengan cara masing-masing pemilih dan pendukung calon kepala desa membuat barisan adu panjang ditanah lapang. Calonnya adalah orang yang telah mendapat persetujuan wedana dan asisten wedana (camat) serta kontrolir (pejabat pengawas pemerintah Belanda). Kepala desa terpilih adalah berdasarkan panjang barisan pemilih atau pendukungnya.
Menurut Sejarawan Universitas Terbuka, Effendi Wahyono, model Pilkades ini ternyata sangat rumit dan koruptif. Mereka umumnya menyuap wedana atau asistennya agar lolos sebagai cakades. Selama dua atau tiga bulan menjelang pemilihan, mereka harus “membuka meja” setiap malam. “Buka meja” merupakan istilah untuk jamuan umum berupa makan, minuman, dan rokok untuk warga desa. Warga desa dapat mengunjungi rumah para calon yang telah membuka meja untuk makan dan minum. Selesai di satu calon, mereka dapat mengunjungi rumah calon lain untuk melakukan hal yang sama.
Untuk mensukseskan hajatnya untuk menjadi Kepala Desa, para cakades dibantu oleh gapit (penyebutan tim sukses calon kepala desa /cakades) dalam memobilisasi pemilih. Gapit ini menjadi mesin politik yang harus dibangun secara mandiri oleh cakades dengan memanfaatkan unsur-unsur yang ada di dalam masyarakat desa. Terkadang peran gapit, lebih menentukan kemenangan daripada sosok cakades itu sendiri.
Pada perkembangannya, model pemilihan ini dianggap rawan dan menimbulkan konflik horisontal secara terbuka antar pendukung cakades, yang pada prosesnya pilkades dilaksanakan dengan pemilihan langsung secara tertutup.
Pemungutan suara dilaksanakan dengan menggunakan biting (lidi) yang diberi tanda khusus oleh panitia yang dimasukan ke dalam bumbung (berfungsi sebagai kotak suara yang dibuat dari bambu) yang diletakkan didalam bilik tertutup. Jumlah bumbung disesuaikan dengan jumlah calon yang ada. Masing-masing bumbung ditandai dengan simbol berupa hasil bumi atau palawija, misal padi, jagung, dan seterusnya.
Setiap pemilih yang menggunakan hak pilihnya menerima satu biting dan kepala desa terpilih ditentukan berdasarkan jumlah biting terbanyak diantara semua bumbung. Jika terdapat calong tunggal maka disediakan dua bumbung di dalam bilik pemungutan suara yaitu bumbung dengan simbol cakades yang ada dan satu bumbung lagi tanpa simbol apapun yang disebut “bumbung kosong”. Jika hasil penghitungan biting dari “bumbung kosong” jumlahnya lebih banyak berarti calon tunggal tadi kalah dengan “bumbung kosong” dan dia dinyatakan tidak terpilih.
Setelah Indonesia merdeka, Pilkades sudah mengalami peningkatan yaitu dengan menggunakan pemilihan tertutup dalam bilik suara dengan menggunakan kartu suara. Karena pada saat itu belum banyak orang yang bisa membaca (angka buta huruf masih tinggi), maka cakades tetap diidentidaskan dengan gambar hasil bumi atau palawija.