LINTASJATIM.com, Surabaya – PCNU Kota Surabaya bekerjasama dengan Dinas Sosial Kota Surabaya gelar bedah buku berjudul Jejak Peradaban Islam Nusantara, Sabtu (14/11/2020).
Acara tersebut berlangsung di kantor PCNU Surabaya di Jl. Bubutan VI No. 1 dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional 2020.
Panitia membedah buku ini untuk meningkatkan wawasan Islam di Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari ekspresi dan pengamalan keislaman di Indonesia yang sangat unik.
Islam di kepulauan nusantara ini, bisa bersanding sejalan secara harmonis dengan kebudayaan dan kebangsaan. Tak heran jika banyak anggapan dari luar negeri bahwa Islam Indonesia merupakan salah satu bentuk Islam yang ideal.
Kenyataan ini disebabkan oleh peradaban Islam dibawa ke Nusantara melalui pendekatan kultural, bukan pendekatan politik kekekuasaan.
Jejak sejarah ini sangat penting untuk diungkap, mengingat dibeberapa negara dunia, Islam yang dikenalkan dengan kekuatan politik berpotensi hancur oleh kekuatan politik lain. Akhirnya, umat Islam menjadi korban, sebagaimana yang terjadi di Andalusia dan India.
Kenyataan di atas disampaikan oleh Dr. H. Achmad Muhibin Zuhri, M. Ag selaku penulis buku ‘Jejak Peradaban Islam Nusantara: Pergulatan Antara Resistensi dan Adaptasi di Era Kolonial’.
Pria yang juga menjadi ketua PCNU Surabaya ini menjelaskan bahwa penulisan historiografi tersebut sebagai upaya mengungkap apa yang belum terungkap.
“Andil ulama, santri, kiai dan kalangan pesantren bagi peradaban di Nusantara tidak bisa dikubur melalui penyimpangan sejarah,” ungkap Muhibin Zuhri saat memberikan materi.
Sementara itu, Winarto Eka Wahyudi, selaku penulis kedua menambahkan bahwa buku ini ditulis untuk menunjukkan bahwa Islam dan kebangsaan menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
“Buku ini ingin menyampaikan spirit bahwa kita dituntut selain berusaha menjadi pemeluk agama Islam yang baik, juga harus selaras untuk menjadi warga negara yang baik pula,” terangnya saat menyampaikan materi.
Bedah buku ini mendapat sambutan dan apresiasi yang baik. Tak terkecuali dari pakar sejarah dan kebudayaan Islam Prof. Dr. Imam Ghazali Said yang saat itu didapuk menjadi pembanding.