Sound Horeg Dilarang, Ribuan Warga Terancam Kehilangan Nafkah

LINTASJATIM.com, Surabaya,– Pelarangan penggunaan jasa sound system hiburan rakyat atau yang akrab dikenal Sound Horeg mulai memicu keresahan. Tak hanya di kalangan pelaku usaha, tapi juga para pekerja harian yang menggantungkan hidup dari usaha persewaan sound system. Jika terus berlangsung, pelarangan ini dikhawatirkan bakal menambah angka pengangguran, khususnya di daerah-daerah basis penyewa.

David Steven, pemilik Blizzard Audio sekaligus Ketua Paguyuban Sound Malang Bersatu, menyebutkan bahwa hanya di wilayah Kabupaten Malang, terdapat sekitar 1.200 pelaku usaha sound system. Masing-masing minimal mempekerjakan 10 orang. Jika dihitung dengan anggota keluarga, maka yang terdampak bisa mencapai puluhan ribu orang.

Bacaan Lainnya

“Kalau satu usaha punya 10 karyawan, berarti ada 12 ribu orang. Belum termasuk istri dan anak-anak mereka. Ini hanya di Malang. Bayangkan jika pelarangan ini merembet ke seluruh Jawa Timur,” kata David, Minggu (27/7).

Ia mengaku kecewa karena fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim tentang pelarangan Sound Horeg justru disusul imbauan resmi dari Polda Jatim. Padahal menurut David, kegiatan persewaan selama ini cukup tertib dan tidak menimbulkan kekacauan.

“Mayoritas acara diadakan di jalan kampung, bukan di jalan utama. Suasananya kondusif. Tapi karena fatwa dan imbauan itu, sudah ada empat order yang dibatalkan. Kami berharap ini tidak terus bergulir,” ujarnya.

Meski begitu, David mengaku hingga kini jadwal order Sound Horeg masih penuh hingga November, terutama di wilayah Kabupaten Malang yang masyarakatnya masih menerima keberadaan hiburan rakyat ini.

Sementara itu, pandangan berbeda datang dari kalangan pesantren. KH Kholili Kholil, pengasuh Pondok Pesantren Al Amiroh, Pasuruan, justru melihat Sound Horeg sebagai kreativitas budaya lokal Jawa Timur. Menurutnya, persoalan bukan pada sound-nya, melainkan bagaimana digunakan dan dikelola.

“Kalau suaranya dianggap terlalu keras, ya tinggal dikurangi. Tidak perlu sampai mengharamkan. Ini soal teknis, bukan perkara akidah,” ujar kiai muda alumnus Pondok Lirboyo, Kediri ini.

Gus Kholil juga mengkritisi definisi dalam fatwa haram tersebut. Ia mencontohkan bahwa dalam fikih, pencurian diharamkan dengan batasan dan definisi yang jelas. Maka seharusnya, jika mau membuat fatwa haram untuk Sound Horeg, perlu diperjelas aspek mana yang diharamkan—apakah suaranya, kontennya, waktunya, atau konteks penggunaannya.

Ia mengimbau masyarakat, terutama pelaku usaha, agar tidak panik menyikapi polemik ini.

“Fatwa itu berlaku bagi yang meminta. Tidak mengikat seluruh umat Islam. Ini panduan moral, bukan larangan hukum. Jangan sampai umat bingung dan saling menyalahkan. Mari kita selesaikan ini dengan kepala dingin,” tutup Gus Kholil.

Pos terkait