Diterjang Longsor, Makam Tokoh Islam di Bojonegoro Tetap Tegak Berdiri

Foto makam yang tetap utuh setelah sekitarnya diterjang longsor. Sumber foto: https://www.detik.com/jatim
Foto makam yang tetap utuh setelah sekitarnya diterjang longsor. Sumber foto: https://www.detik.com/jatim

LINTASJATIM.com, Bojonegoro – Sebuah fenomena unik terjadi di Desa Sekaran, Kecamatan Kasiman, Kabupaten Bojonegoro. Tiga makam berusia ratusan tahun milik tokoh penyebar Islam dan keluarganya tetap kokoh meski tanah di sekitarnya mengalami longsor parah akibat abrasi Sungai Bengawan Solo.

Peristiwa ini terjadi sekitar sepuluh hari lalu, setelah banjir yang melanda kawasan tersebut di akhir Mei.

Meskipun atap cungkup dan pagar makam ambruk ke sungai, makam utama yang diyakini sebagai tempat peristirahatan terakhir Kiai Abdul Qodir Jaelani atau lebih dikenal dengan Raden Citro Yudho tetap tidak tergeser sedikit pun.

“Ambruk sekitar 10 harian lalu. Nggih longsor soale akhir bulan wingi banjir sekitar sak dengkul,” jelas Kiswari, warga lokal yang juga penggali kubur di desa tersebut, saat ditemui pada Kamis (5/6/2025).

Ia juga menambahkan, “Niku makam Mbah Kiai Jaelani kalih bojone lan mantunipun,” mengacu pada makam istri dan menantu Kiai Jaelani yang berada di sampingnya.

Keberadaan makam tersebut bukan sekadar situs sejarah biasa. Menurut warga, Kiai Jaelani merupakan sosok yang meninggalkan jejak spiritual dan budaya yang dalam di wilayah tersebut.

Salah satu warisannya adalah Masjid Desa Sekaran yang masih berdiri hingga kini. Masjid itu dipercaya dibangun sekitar tahun 1730 dan menjadi masjid tertua kedua di Bojonegoro.

“Masjid niku peninggalan almarhum Kiai Jaelani dibangun sekitar tahun 1800-an. Masjid kedua sebelum masjid di Cangaan Kanor,” ujar Kiswari.

Sayangnya, akibat ancaman longsor yang terus berulang, kegiatan ziarah dan doa tahunan kini digelar di luar kompleks makam. Meski begitu, warga dan perangkat desa terus menjaga kebersihan dan kerapian lokasi dengan membersihkan sisa-sisa reruntuhan bangunan.

Lebih jauh, warga juga menyebut bahwa Kiai Abdul Qodir Jaelani merupakan keturunan bangsawan Keraton Solo yang memilih meninggalkan lingkungan kerajaan demi menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa. Ia wafat sekitar tahun 1833, tak lama setelah berakhirnya Perang Diponegoro.

“Setiap bulan Selo dalam kalender Jawa, kami selalu mengadakan haul untuk mengenang Mbah Kiai Jaelani,” pungkas Kiswari.

Fenomena ini tak hanya menjadi pengingat akan sejarah penyebaran Islam di Bojonegoro, tapi juga menyiratkan nilai spiritual tentang keteguhan iman yang tetap berdiri, bahkan saat tanah di bawahnya runtuh.

Pos terkait