Pesantren Gebang Tinatar Ponorogo Termasuk Tertua di Jawa, Begini Kata Sejarawan

Komunitas Sejarah di Ponorogo
Komunitas Sejarah di Ponorogo

LINTASJATIM.com, Ponorogo – Komunitas Sejarah Ponorogo mengadakan webinar kedua berjudul Pesantren Gebang Tinatar dan Aswaja pada Ahad, (14/11/2021). Diskusi kali ini menghadirkan dua pembicara yang memang dikenal sebagai santri sekaligus penulis sejarah.

Pertama adalah Gus Zainul Milal Bizawie dan kedua adalah Muhammad Husnil. Buku-buku Gus Milal terkait santri dan Islam Nusantara sudah banyak, sementara Muhammad Husnil dikenal sebagai penulis sejarah sudah menulis lima buku. Bukunya yang akan terbit terkait Pesantren Tegalsari.

Bacaan Lainnya

Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari merupakan salah satu pondok pesantren tertua di Jawa. Di pesantren itulah pertama kali ada kurikulum dan pengajaran dilakukan secara sistematis.

Diskusi yang dipandu Emka Nujhan Farhani, mahasiswa pendidikan sejarah UNY, itu berlangsung gayeng. Gus Milal membuka diskusi ini dengan merunut dan melihat kaitan Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari dengan Perang Jawa, sebuah episode penting dalam sejarah Islam dan kebangsaan di Nusantara.

Menurutnya, dalam Perang Jawa itu Pesantren Tegalsari memang tidak aktif dalam memberikan dukungan kepada Pangeran Diponegoro. “Dalam buku Pak Peter Carey, Pesantren Tegalsari memang tidak tercatat sebagai pendukung, tetapi bukan berarti tidak ada bantuan sama sekali,” kata Gus Milal.

Gus Milal merunut nama-nama pejuang dan laskar santri yang ikut terlibat dalam Perang Jawa dan menemukan bahwa ada beberapa nama yang memang keturunan Ki Ageng Muhammad Besari. Dengan penelusurannya yang telaten dan pengetahuan mengenai sejarah pesantren dan Perang Jawa, Gus Milal menyatakan bahwa ijtihad politik Pesantren Tegalsari atas peristiwa Perang Jawa ini adalah ijtihad tingkat tinggi.

“Mereka berpikir mengenai pendiri pesantren yang berjihad dengan sabar sehingga bisa mendirikan Pesantren Tegalsari dan demi membawa kemaslahatan yang lebih luas. Di antaranya adalah, Pesantren Tegalsari tidak termasuk sebagai pesantren yang diganggu oleh Belanda. Tetapi, dari rahim inilah lahir justru tokoh penting pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia, yaitu HOS Tjokroaminoto,” kata Gus Milal.

Sementara Muhammad Husnil menelusuri aspek ajaran Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari. Menurutnya, agak ahistoris bila mengaitkan Pesantren Tegalsari dengan Ahlusunnah Waljamaah. “Tegalsari ini kuat sekali Aswajanya,” katanya.

Hal itu dicirikan dengan beberapa. Misalnya, Husnil membaca bahwa pembangunan masjid yang dilakukan Ki Ageng Muhammad Besari dan Ki Ageng Nur Shodiq adalah bukti betapa Pesantren Tegalsari ini didirikan berdasarkan aspek syariat yang tinggi. “Mereka taat dalam menjalankan ritual shalat dan rukun Islam lainnya,” katanya.

Selain itu, Husnil menemukan bahwa dalam fikih, Pesantren Tegalsari ini berpegang kepada fikih secara kuat. “Kalau dalam adat Jawa, pernikahan antarsepupu tidak diperbolehkan. Ya, masuknya sebagai “saru”. Karena akan mematikan wali. Tetapi, secara fikih dibolehkan pernikahan antarsepupu. Seperti Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fathimah. Ayat yang membolehkan pernikahan ini adalah surah al-Ahzab ayat 50,” kata Husnil.

Kalau memang pendiri Pesantren Tegalsari ini kejawen, tentu mereka lebih memilih adat Jawa ketimbang fikih. Tetapi, pada faktanya, dalam keluarga besar Ki Ageng Muhammad Besari ada yang menikah antarsepupu. “Pemilihan ini bukan sekadar pengetahuan fikih, tetapi juga adalah proses penyebaran nilai-nilai Islam yang sesuai dengan jalan para ulama. Ini bukti penting bahwa mereka ini Aswaja,” tambahnya.

Husnil mengutip pendapat Hadlratusyaikh Hasyim Asy’ari dalam kitab Risalatu Ahlisunnah Waljamaah, bahwa sudah sejak lama masyarakat Jawa memegang prinsip Ahlussunnah. Dalam fikih mengikuti madzhab Muhammad bin Idris Syafi’i, dalam tauhid mengikuti madzhab Imam Asy’ari, dalam tasawuf mengikuti Madzhab Imam Ghazali atau Imam Abu Hasan Syadzili.

Bahkan, Husnil menemukan keterkaitan yang kuat bahwa ajaran tauhid yang diajarkan di Pesantren Tegalsari ini berasal dari Imam Asy’ari. Hal itu ditandai dengan Syi’ir Ujud-Ujudan yang rutin dibacakan pada hari Jumat bakda subuh.

“Kalau kita telaah dan perhatikan detail, Syi’ir Ujud-Ujudan adalah cara yang dilakukan oleh Ki Ageng Muhamamad Besari untuk menanamkan akidah Asy’ariyah tentang sifat dua puluh. Tetapi, cara dan ragam ekspresinya saja diungkapkan dalam logat dan langgam Jawa. Tetapi, ini bukan sinkretik. Ini murni tauhid yang diajarkan sebagaimana ulama-ulama Aswaja lainnya,” kata Husnil.

Pos terkait