Tantangan Membuka Sekolah di Tengah Badai Pandemi

Untung Wahyudi
Untung Wahyudi

Oleh
Untung Wahyudi*

Saat ini, penyebaran coronavirus disease (Covid-19) terkesan semakin tak terkendali. Jumlah korban dan yang terjangkit semakin meningkat. Di Indonesia, jumlah terpapar yang sebelumnya hanya puluhan ribu, kini sudah menyentuh angka dua ratus ribu. Bagaimana langkah pemerintah menghadapi sebaran virus yang semakin tak terkendali ini?

Bacaan Lainnya

Dalam opininya berjudul Covid-19 dan Tingginya Kematian Dokter (Banjarmasin Post, 12/9/2020), Pribakti B, menyatakan, corona telah meluluhlantakkan berbagai sistem. Sistem keuangan lunglai dengan sistem kesehatan mananggung beban. Layanan kesehatan tidak sanggup menghadapi badai pandemi. Akibatnya, berburu rumah sakit menjadi pekerjaan yang amat sulit.

Dokter RSUD Ulin Banjarmasin tersebut menambahkan, karena pandemi, tradisi keagamaan yang telah hidup berabad-abad harus menyesuaikan diri. Jabat tangan sebagai simbol silaturahmi dalam sistem sosial, tak lagi dianjurkan karena bisa menimbulkan bencana.

Lalu bagaimana dengan sistem pendidikan?

Sejak Maret 2020, pelaksanaan pembelajaran harus dilakukan secara daring untuk mencegah penyebaran Covid-19. Pembelajaran jarak jauh menjadi pilihan utama agar pendidikan dan pengajaran tetap berjalan. Meskipun banyak kendala dalam pelaksanaan pembalajaran jarah jauh, namun pihak penyelenggara pendidikan sudah turut serta membantu pemerintah agar penyebaran virus tidak meluas, terutama di kalangan siswa dan pendidik.

Memasuki masa kenormalan baru dengan dihapusnya PSBB di sejumlah daerah, sejumlah satuan pendidikan mulai melaksanakan pendidikan dan pengajaran sebagaimana biasa. Terutama daerah-daerah zona kuning dan hijau. Namun begitu, protokol kesehatan harus tetap dilaksanakan untuk mengantisipasi penyebaran virus. Pendidikan dan pengajaran harus dilakukan sebagaimana aturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Diizinkannya sekolah yang berada di zona kuning dan hijau untuk melakukan pembelajaran tatap muka telah menuai kekhawatiran terhadap adanya peningkatan kasus Covid-19, terutama di kedua zona tersebut.

Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Dasar, dan Menengah (Dirjen Paudasmen) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Jumeri mengungkapkan bahwa Pemerintah menyadari bahwa pembukaan layanan tatap muka berpotensi menyebabkan terjadinya cluster-cluster baru.

Namun, pihak Kemendikbud sudah memberikan instruksi agar pembukaan satuan pendidikan di zona kuning harus atas izin Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 setempat. Selain itu, kepala sekolah harus mengisi daftar periksa pencegahan Covid-19 dan diverifikasi oleh Satuan Tugas Percepatan Penanganan covid-19 dan Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota (Sipres Kemendikbud).

Surat Keputusan Bersama Empat Menteri

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bersama dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Kementerian Agama (Kemenag) melakukan penyesuaian terhadap panduan penyelenggaraan pembelajaran pada tahun ajaran 2020/2021 dan tahun akademik 2020/2021 di masa pandemi.

Penyesuaian SKB Empat Menteri memberikan penyesuaian bagi daerah di zona kuning untuk membuka kembali satuan pendidikan. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemendikbud, Ainun Na’im, dalam pertemuan telekonferensi mengungkapkan bahwa, hal tersebut merupakan kewenangan pemerintah daerah.

Ainun menjelaskan, keputusan tetap ada di pemerintah daerah, kepala sekolah, komite sekolah, dan orang tua. Namun, hal ini bukan merupakan kewajiban atau paksaan, melainkan pilihan.

Berbagai prosedur dan protokol kesehatan harus tetap dijaga dan sekolah harus melaksanakan persiapan sehingga kesehatan siswa tetap terjamin. Kemendikbud meminta pemerintah daerah untuk mengawasi bagaimana perjalanan siswa dari rumah ke sekolah, proses pembelajaran di kelas, dan jumlah siswa di kelas.

Selama ini, banyak satuan pendidikan khususnya di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal  (3T) sangat kesulitan untuk melaksanakan Pembelajaran Jarak Jauh karena minimnya akses internet. Hal ini dapat berdampak negatif terhadap tumbuh kembang dan psikososial anak secara permanen.

Saat ini, 88% dari keseluruhan daerah 3T berada di zona kuning dan hijau. Dengan adanya penyesuaian SKB ini, maka satuan pendidikan yang siap dan ingin melaksanakan pembelajaran tatap muka memiliki pilihan untuk melaksanakannya secara bertahap dengan protokol kesehatan yang ketat.

Membaca SKB Empat Menteri dalam Sipres Kemendikbud Nomor: 213/Sipres/A6/VIII/2020, Kemendikbud sebenarnya memberikan pilihan bagi sejumlah satuan pendidikan untuk membuka sekolah dan melaksanakan pembelajaran tatap muka, namun harus dengan mematuhi prosedur dan protokol kesehatan yang telah ditetapkan. Pihak sekolah harus menyiapkan dengan matang apa saja yang dibutuhkan selama pembelajaran.

Brahmana Askandar, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Surabaya, menjelaskan betapa pentingnya menjaga kesehatan di sekolah di masa pandemi. Menurutnya, bila sekolah tatap muka terpaksa dibuka, protokol kesehatan harus disiapkan dan dibudayakan. Sekolah tatap muka dilaksanakan bila telah betul-betul siap, tidak bisa memakai prinsip trial and error karena menyangkut kesehatan (Padang Ekspres, 13/8/2020).

Kurikulum di Masa Darurat

Perubahan secara drastis sistem pendidikan di masa pandemi harus dibarengi dengan berbagai inovasi oleh para pemangku kebijakan pendidikan. Jika pelaksanaan pembelajaran jarak jauh dinilai kurang efektif, terutama di daerah-daerah 3T, maka sudah semestinya membuat kurikulum khusus di masa darurat.

Bersamaan dengan dikeluarkannya Penyesuaian SKB Empat Menteri, Kemendikbud juga meluncurkan kurikulum khusus untuk pembelajaran di masa darurat.

Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Perbukuan (Kabalitbangbuk) Kemendikbud, Totok Suprayitno, mengungkapkan bahwa, berdasarkan Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19 telah disebutkan bahwa, penuntasan kurikulum tidak diwajibkan.

Totok menjelaskan, beberapa sekolah sebenarnya sudah mengimplementasikan kurikulum mandiri melalui pengurangan dan hanya mengambil materi yang esensial. Inilah yang dilakukan Kabalitbangbuk Kemendikbud dalam kurikulum khusus. Namun, hal ini bukan paksaan melainkan pilihan. Ada tiga pilihan yang bisa diambil yaitu mengikuti kurikulum biasa, kurikulum khusus, atau kurikulum mandiri.

Untuk mengurangi risiko hilangnya pengalaman belajar, Kemendikbud juga meluncurkan modul. Kebijakan ini dikeluarkan berdasarkan survei di mana peserta didik jenjang bawah kesulitan belajar mandiri melalui buku teks.

Materi dalam bentuk modul ini mudah dipahami karena berbasis kegiatan. Modul ini disiapkan bagi peserta didik, pendidik, dan orang tua agar masing-masing memiliki acuan terutama bagi para orang tua agar tidak mengalami kebingungan dalam mendampingi anak-anak mereka.

Pandemi yang menyerang berbagai lini harus dihadapi dengan semangat gotong royong. Kesadaran untuk senantiasa menjaga kesehatan haruslah tetap digalakkan sehingga, tidak ada lagi korban berjatuhan akibat virus corona. (*)

Identitas Penulis
*Penulis adalah lulusan UIN Sunan Ampel, Surabaya

_____________________

**Kolom merupakan Rubrik Opini LINTASJATIM.com terbuka untuk umum. Panjang naskah minimal 400 kata dan maksimal 2500 kata. Sertakan riwayat singkat dan foto diri terpisah dari naskah (tidak dimasukan Ms. Word).
**Naskah dikirim ke alamat e-mail: redaksilintasjatim@gmail.com atau ke Wa Center
**Redaksi berhak menyeleksi tulisan serta mempublikasi atau tidak mempublikasi tulisan.
**Redaksi berhak merubah judul untuk keperluan SEO (search engine optimization)

Pos terkait