Oleh
Pipit Agustin, S.Pt*
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PANRB) Tjahjo Kumolo mengungkapkan adanya fenomena baru pelanggaran yang dilakukan aparatur sipil negara (ASN). Fenomena tersebut berupa ASN perempuan yang memiliki suami lebih dari satu atau poliandri. Padahal, ASN adalah kalangan yang dinilai terdidik di kalangan masyarakat. Ironis memang.
Menpan-RB menuturkan dalam satu tahun ini ada sekitar lima laporan kasus poliandri. Setiap bulan kementerian PANRB bersama Badan Kepegawaian Nasional (BKN) hingga kementerian Hukum dan HAM menggelar sidang untuk memutuskan perkara pelanggaran ASN termasuk masalah keluarga tersebut (REPUBLIKA.CO.Id 29/08/2020).
Fenomena ini menunjukkan gejala masyarakat yang sakit. Kita tahu bahwa tak satupun agama membolehkan poliandri. Begitu juga dengan konstitusi negara dan hukum adat. Kecuali sebagian kecil suku tertentu seperti Suku Toda (India), Suku Maasai (Kenya), Penduduk Tibet (Cina). Namun seiring perkembangan zaman, praktik poliandri pun makin ditinggalkan oleh suku-suku tersebut.
Poliandri di Mata Islam
Poliandri haram hukumnya dalam Islam, Allah SWT berfirman:
وَٱلۡمُحۡصَنَـٰتُ مِنَ ٱلنِّسَاۤءِ إِلَّا مَا مَلَكَتۡ أَیۡمَـٰنُكُمۡۖ كِتَـٰبَ ٱللَّهِ عَلَیۡكُمۡ
“Dan (diharamkan juga atas kalian menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu.” (QS An-Nisa (4): 24)
Ayat ini menunjukkan salah satu kategori wanita yang haram dinikahi laki-laki, adalah wanita yang sudah bersuami, yang dalam ayat di atas disebut al-muhshanaat.
Adapun menurut hadis, bahwa Nabi saw. telah bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ زَوََّجَهَا وَلِيَانِ فَهِيَ لِلأَوَّلِ مِنْهُمَا.
“Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka pernikahan yang sah bagi wanita itu adalah yang pertama dari keduanya.” (HR Ahmad)
Hadis di atas secara manthuq (tersurat) menunjukkan jika dua orang wali menikahkan seorang wanita dengan dua orang laki-laki secara berurutan, maka yang dianggap sah adalah akad nikah yang dilakukan wali yang pertama (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123).
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata,
“Pernyataan ‘laki-laki dibolehkan menikahi empat orang wanita, namun wanita tidak dibolehkan menikahi lebih dari satu lelaki’, ini adalah salah satu bentuk kesempurnaan sifat hikmah dari Allah Ta’ala kepada mereka. Juga bentuk ihsan dan perhatian yang tinggi terhadap kemaslahatan makhluk-Nya.
Maha suci Allah dari keburukan semua makhluk. Allah menurunkan syariat Islam untuk menjaga kesucian diri manusia itu sendiri, baik laki-laki maupun perempuan.
Islam menetapkan syariat pernikahan, hukum yang mengatur kehidupan manusia secara seksual dengan pengaturan yang sahih dan kuat sehingga mencegah segala bentuk kerusakan hubungan seksual.
Ikatan pernikahan dalam Islam menautkan kehidupan manusia yang bersifat seksual dan interaksional melalui metode yang teratur dan unik. Persyaratan pernikahan dalam Islam bertujuan menjaga nasab, menjaga manusia dari infeksi mematikan seperti AIDS, sifilis, penyakit kelamin, dan penyakit lainnya.
Namun, dengan prinsip kebebasan personal yang ditularkan Barat ke negeri-negeri Muslim seperti Indonesia, seorang perempuan bebas menjalin pernikahan ganda dengan mengabaikan batasan agama.
Ikatan pernikahan yang demikian itu berdiri di atas aspek syahwat semata. Akibatnya, kesucian nasab tercemar. Manusia pun tergelincir ke dalam kesempitan hidup akibat berbagai masalah sosial ikutan seperti hukum waris, mahram, nafkah, dan lain-lain.
Dari sisi penjagaan nasab, sesungguhnya kebebasan seksual kategori zina tidak dapat memberikan jaminan nasab. Banyak anak terlahir tanpa jelas siapa ayah kandungnya. Pelaku poliandri pun demikian. Anak akan dinasabkan kepada ayahnya. Jika seorang perempuan memiliki lebih dari satu suami, tidak akan jelas siapa ayah dari anak tersebut.
Fenomena poliandri di kalangan ASN mungkin seperti gunung es, kasus yang muncul di permukaan kecil, namun fakta yang tidak terungkap lebih banyak jumlahnya. Belum lagi dari kalangan selain ASN.
Pengharaman poliandri sangat tepat dan selaras dengan tujuan penciptaan manusia karena akan menjaga nasab manusia. Tentu saja karena syariat Islam berasal dari Allah SWT Pencipta manusia. Sehingga Dia tahu apa yang terbaik bagi manusia. Saat manusia melawan syariat, dia telah melampaui batas.
Tentu kita berharap negeri ini dinaungi berkah dari langit dan bumi, dijauhkan dari azab dan murka Ilahi. Oleh karena itu, seluruh komponen masyarakat terutama kaum Muslimin harus mematuhi protokol syariat. Memahami dan mengimplementasikannya dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk kehidupan berumah tangga.
Bila kita menengok ke zaman Majapahit, pernah terjadi krisis sosial akibat perilaku tidak terpuji yang dilakukan putra pejabat dan adipati. Mereka suka berfoya-foya, mabuk, berjudi, berzina dan perilaku tercela lainnya. Uniknya, Prabu Brawijaya Kertabhumi meminta ulama untuk memperbaiki perilaku pejabat tersebut.
Adalah Raden Rahmat atau Sayyid Ali Rahmatullah, nama asli dari Sunan Ampel. Beliau merupakan putra dari Syeh Maulana Ibrahim Asmarakandi, seorang ulama besar di Rusia Selatan dan Putri Candrawulan. Sunan Ampel dihadiahi tanah perdikan di Ampel Denta, Surabaya sebagai pusat pembinaan masyarakat.
Ajaran Sunan Ampel yakni Molimo begitu populer di masyarakat saat itu. Menjauhi lima perkara buruk atas dasar iman dan takwa kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Penyampaian Islam pun sukses. Banyak penduduk memeluk Islam dan meninggalkan zina, judi, miras, dsb.
Kini, kita sebagai umat Muslim mewarisi tugas mulia Sunan Ampel dan para Wali Songo lainnya untuk menyampaikan Islam yang humanis dan solutif atas segala krisis sosial yang menimpa negeri ini, termasuk fenomena poliandri. Dengan penyampaian yang penuh hikmah, kita semua berharap masyarakat sadar dan mau berubah atas dasar iman dan takwa sehingga keberkahan negeri dapat kita wujudkan.
Firman Allah SWT:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS: Al-A’raf [7]: 96)
*Penulis adalah koordinator JEJAK
**Kolom merupakan Rubrik Opini LINTASJATIM.com terbuka untuk umum. Panjang naskah minimal 400 kata dan maksimal 2500 kata. Sertakan riwayat singkat dan foto diri terpisah dari naskah (tidak dimasukan Ms. Word).
**Naskah dikirim ke alamat e-mail: redaksilintasjatim@gmail.com atau ke Wa Center
**Redaksi berhak menyeleksi tulisan serta mempublikasi atau tidak mempublikasi tulisan.
**Redaksi berhak merubah judul untuk keperluan SEO (search engine optimization)