Oleh
Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si*
Sejak Maret 2020, Kampung Inggris di Pare, Kabupaten Kediri terpaksa harus menghentikan semua aktivitas pembelajaran. Penyebab utamanya ialah ketika terkonfirmasi kasus perdana positif Covid-19 yang tak lain adalah warga Kampung Inggris. Namun, setelah hampir lima bulan berjalan, hingga kini belum ada solusi untuk ratusan lembaga kursus bahasa di Pare.
Belum adanya keputusan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kediri untuk membuka kembali Kampung Inggris di Pare, membuat pemilik lembaga kursus tertua di Kampung Inggris, Mr Kalend Osen kecewa. Setelah empat bulan ditutup pemerintah, sampai sekarang belum ada solusi untuk Kampung Inggris. Pasalnya, kondisi masyarakat sekarang sedang jatuh. Seyogianya, ada upaya yang dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan warga sekitar yang income ekonominya bergantung pada lembaga kursus di Kampung Inggris.
Mr Kalend pun tak tinggal diam. Pihaknya telah mendengar keluhan langsung masyarakat dan para pengurus Forum Kampung Bahasa (FKB) yang beberapa kali sudah berkoordinasi dengan desa, kecamatan, dan perwakilan Pemkab Kediri. Namun dari pertemuan itu, masih tidak ada solusi yang jelas untuk membuka Kampung Inggris.
Mr Kalend justru mendapatkan jawaban jika pada November, Kampung Inggris baru akan ditinjau oleh Pemkab Kediri. Padahal, kata Mr Kalend, FKB sudah mencoba menyusun mitigasi untuk mencegah penularan Covid-19 jika nanti Kampung Inggris dibuka kembali. Konsep dan pelaksanaan mitigasi penanganan Covid-19 tersebut diupayakan sesuai protokoler kesehatan gugus tugas, yaitu berupa akomodasi termasuk karantina, gugus tugas, physical distancing selama kegiatan belajar. Mereka juga siap berkomitmen untuk melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab bersama elemen masyarakat.
Sementara itu, Nu’man Iskandar, Direktur Lembaga Riset Statistika Indonesia dari Kampung Inggris Pare, menyebut perlu adanya solusi langsung tentang keberlanjutan pembelajaran kursus di Kampung Inggris. Menurut Nu’man, minim sekali perhatian dari Pemda setempat. Pasalnya, setelah dilakukan lockdown, Kampung Inggris seperti ditinggalkan begitu saja. Tidak ada dialog, arahan, atau semacamnya.
Mereka, yakni para pemilik lembaga kursus, tutor/pengajar kursus, berikut warga sekitar Pare yang mencari nafkah di kawasan Kampung Inggris, harus menyelesaikan masalahnya sendiri. Padahal Kampung Inggris selama ini telah menjadi ikon Kediri, bahkan nasional. Sudah jamak diketahui, bahwa peserta kursus di Kampung Inggris datang dari seluruh Indonesia. Pun tak sedikit yang datang dari sejumlah negeri tetangga, seperti Thailand.
Penutupan Kampung Inggris ini tentu saja berdampak luas pada berbagai sektor penyangga lainnya. Sektor ekonomi adalah yang paling terpukul. Karenanya tak ayal, ini adalah gejala pasti menuju inflamasi bisnis di Kampung Inggris. Meradang dan hampir mati. Kampung Inggris mendadak sunyi. Sepi, sudah hampir lima bulan ini.
Nu’man pun menjelaskan lebih dari 15.000 jiwa yang selama ini menggantungkan hidupnya dari aktivitas Kampung Inggris. Namun saat ini mereka harus memutar otak dan menyelesaikan masalah sendiri. Upaya menyelenggarakan kursus online dengan harga murah pun tak cukup memenuhi target nominal income. Sungguh ironis, mereka serasa anak ayam kehilangan induk.
Akibatnya, tak sedikit para pemilik lembaga kursus mulai mengosongkan kios maupun bangunan yang biasa mereka gunakan untuk mencari nafkah dengan mengajar kursus bahasa. Demikian halnya para pengusaha/pedagang lainnya, seperti pemilik rumah makan, pedagang makanan dan minuman kaki lima, pemilik kos-kosan, rental sepeda, laundry, serta toko-toko seperti toko buku, aksesoris, dan cenderamata. Jika tak dikontrakkan, maka kios/bangunan sumber pendapatannya itu dijual. Harganya? Jangan ditanya. Pasti anjlok di bawah harga pasaran.
Mencermati hal ini, sungguhlah kiranya tak cukup mengandalkan peran Pemkab Kediri untuk menyolusi problem Kampung Inggris ini. Berdasarkan jaringannya yang sudah me-nasional, telah menjadikan Kampung Inggris menjadi ikon nasional pula. Karena itu, sudah semestinya solusi bagi Kampung Inggris bukanlah solusi yang diakomodir oleh Pemkab, melainkan oleh Pemerintah pusat.
Ini mengingat posisi Kampung Inggris adalah bagian dari kawasan istimewa dalam aspek pencerdasan anak bangsa. Pesertanya dari seluruh Indonesia. Dan aspek pencerdasan ini jelas bagian dari pengelolaan sistem pendidikan nasional. Jadi Pemerintah pusat memang sudah semestinya turun tangan. Bukankah anggaran negara untuk Covid-19 ini cukup besar?
Asal tahu saja, saat kampanye Pilpres 2019 lalu, para calon berbondong-bondong datang mendulang dukungan dari warga Kampung Inggris. Mr Kalend termasuk tokoh yang saat itu juga dimintai dukungan. Karena lembaga kursus miliknya adalah yang tertua di Kampung Inggris, maka peran politisnya juga cukup diperhitungkan dalam rangka meraih suara dari warga sekitar.
Tapi apa mau dikata, Kampung Inggris di era Covid-19 ini sungguh bagai habis manis sepah dibuang. Disanjung kala dibutuhkan, namun diabaikan ketika menuntut pertanggungjawaban.
Identitas Penulis
*Penulis adalah Koordinator LENTERA dan berdomisili di Kampung Inggris Pare.
_____________________
**Kolom merupakan Rubrik Opini LINTASJATIM.com terbuka untuk umum. Panjang naskah minimal 400 kata dan maksimal 2500 kata. Sertakan riwayat singkat dan foto diri terpisah dari naskah (tidak dimasukan Ms. Word).
**Naskah dikirim ke alamat e-mail: redaksilintasjatim@gmail.com
**Redaksi berhak menyeleksi tulisan serta mempublikasi atau tidak mempublikasi tulisan.