Kasus Kekerasan Terhadap Anak Mengusik Predikat Kota Layak Anak

Pipit Agustin, S.Pt.
Pipit Agustin, S.Pt.

Oleh
Pipit Agustin, S.Pt*

Kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia sepanjang 2020 terus beresonansi, menyabang-merauke. Di Aceh Besar, seorang kakek, DAR (49), ditangkap polisi karena diduga mencabuli dua balita berusia dua dan tiga tahun. Pelaku dan korban masih satu keluarga. (detik.com, 16/07/2020).

Bacaan Lainnya

Polres Indragiri Hulu (Inhu) Riau menangkap pemuda inisial ARD (20) lantaran melakukan tindakan penyimpangan seksual terhadap 6 orang bocah laki-laki. Pria asal Kecamatan Kelayang itu tega menyodomi 6 orang bocah yang baru berusia 8-13 tahun. (merdeka.com, 18/07/2020). Kasus lainnya juga terjadi di Subang, Depok, Purwakarta, Karawang, Tulungagung, Blitar, Bojonegoro dan lain-lain.

Tahun lalu, Jawa Timur menempati urutan kedua kasus kekerasan terhadap anak termasuk kejahatan seksual terbanyak, setelah DKI Jakarta. Ini disampaikan Arist Merdeka Sirait Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak saat berada di Mapolres Gresik, Senin (9/3/2020).

Tahun ini, dilansir kompas.com, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jawa Timur mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat selama pandemi Covid-19.

Pada 2019, tercatat lebih dari 900 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jawa Timur.

“Namun saat 2020, hingga 16 Juli 2020, tercatat hampir 700 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak,” kata Kepala DP3AK Provinsi Jawa Timur Andriyanto saat webinar memperingati Hari Anak Nasional 2020, Selasa (21/7/2020).

Fakta ini menjadi pukulan bagi eksistensi Kota Layak Anak. Pasalnya, menurut Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jawa Timur, Dr. Rahayu, SH, MSi, dari total 38 kabupaten/kota di Jawa Timur, mayoritas sudah menyandang Kota Layak Anak (KLA) pada 2019. Hanya tiga kabupaten/kota yang belum memenuhi lima klaster untuk terwujudnya KLA.

Lima klaster KLA yang dimaksud Rahayu adalah terpenuhinya hak sipil dan kebebasan untuk anak, pengadaan lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, pemenuhan akses kesehatan dasar dan kesejahteraan, akses pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya serta akses perlindungan khusus bagi anak.

Saatnya dunia menyadari bahwa wabah kekerasan terhadap anak adalah penyakit yang melekat pada peradaban sekuler Barat. Wabah ini diekspor ke negeri-negeri Muslim dan menulari masyarakat Muslim.

Data terbaru yang dilaporkan oleh WHO, UNESCO, UNICEF menyebutkan separuh dari total populasi anak di dunia atau sekitar satu miliar anak mengalami kekerasan. Ragam bentuk kekerasan seperti fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, cedera, menjadi disabilitas dan meninggal dunia terjadi ke anak. (Republika.co.id/19 Juni 2020).

Wabah kekerasan ini ditularkan ke negeri-negeri Asia Timur. Jepang sebanyak 80 ribu kasus pada 2018, meningkat 22 persen dari tahun sebelumnya. Korea Selatan juga sama, dan kedua negara ini sama-sama mengalami peningkatan kasus kekerasan terhadap anak sebanyak sepuluh kali lipat selama satu dekade terakhir.

Sungguh nyata dehumanisasi yang diciptakan sistem kapitalisme sekuler menebar wabah ini dari Barat hingga ke Timur. Nilai-nilai sekuler, kebebasan dan materialistik nyata-nyata destruktif terhadap institusi keluarga.

Kemajuan ekonomi Barat menyilaukan negeri-negeri Muslim sehingga seluruh gejala yang terjadi di Barat juga terjadi di negeri-negeri Muslim. Kemajuan ekonomi dan kemegahan infrastruktur selalu diiringi kemerosotan peradaban.

Gejala inilah yang kian terasa di negeri-negeri Muslim akibat penguasa yang “latah” dan kagum ekstrem terhadap Barat. Terlalu membebek nilai-nilai sekuler dan kebebasan yang ditopang sistem ekonomi kapitalistik yang dianut Barat. Tak ayal, pembangunan pesat senantiasa diiringi keruntuhan moral, krisis sosial, meluasnya kriminalitas, dan kekerasan terhadap anak.

Meski berbagai kalangan berupaya untuk terus mengampanyekan perlindungan kepada anak-anak dan perempuan serta menyosialisasikan hak anak kepada para orang tua, kasus kekerasan terhadap anak belum bisa dihentikan.

Sebabnya, solusi yang ada sekarang ibarat meneguk air laut, makin diminum, makin menambah haus. Beginilah ketika prinsip kebebasan ala sekularisme dan kapitalisme yang menjadi pedoman dalam mengatur kehidupan, kenikmatan dunia dikejar sekencang-kencangnya untuk kepentingan syahwatnya semata. Demikian pula sistem yang mengatur kehidupan masyarakatnya saat ini yang menderaskan kebebasan (liberalisme). Inilah yang harus kita akhiri dengan sistem alternatif.

Islam Menawarkan Solusi

Berbeda dengan sekularisme, Islam mengatur seluruh kehidupan, baik ibadah, maupun muamalah dan tatanan sosial. Islam meniscayakan aturan yang integral dan komprehensif. Tidak ditangani setengah hati, tidak berkiblat pada solusi Barat dan tidak terjadi tumpang tindih kebijakan yang minim penyelesaian.

Dalam perspektif Islam, nasib anak menjadi kewajiban negara untuk menjaminnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas pihak yang dipimpinnya, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim).

Adalah Khalifah Umar bin Khattab ra yang sangat tersentuh ketika mendapati di tengah blusukannya pada malam hari, ada tangisan anak-anak yang kelaparan. Sementara sang ibu mereka sedang menghibur anak-anaknya dengan rebusan batu. Tersentuh Sang Khalifah hingga mengutuk diri dan memanggul sendiri gandum hingga memasaknya untuk mereka. Betapa kebutuhan akan pangan adalah kebutuhan rakyatnya termasuk anak-anak.

Khalifah Umar juga memastikan anak-anak berada dalam kepribadian yang jujur. Ia pernah menguji seorang anak yang menggembalakan ternak milik tuannya. Anak itu tak mau menjual ternaknya kepada Umar meski Umar menyarankan untuk berkata bahwa gembalaannya dimakan serigala.

Meski seorang  budak, tapi jiwa anak itu merdeka. Ia tak bergeming dan lebih menyadari keberadaan Allah yang tahu apapun perbuatannya. Sang anak tak mau berbohong. Atas kejujurannya, Khalifah memerdekakannya dari status budak kepada tuannya. Khalifah benar-benar memastikan akhlak mulia anak-anak tumbuh dalam kepemimpinannya.

Kisah Umar di atas memberikan tiga pelajaran penting. Pertama, Ketakwaan individu. Ini adalah level perlindungan ring terkecil untuk mencegah terjadinya kemaksiatan. Individu dalam keluarga harus senantiasa dipupuk ketakwaannya dengan optimal. Orang tua berperan penting dalam menyayangi anak-anak, mendidiknya, serta menjaganya dari kemaksiatan, ancaman kekerasan, kejahatan, serta terjerumus pada azab neraka (QS. At-Tahrim [66]:6). Semua anggota keluarga punya kesadaran yang baik akan pentingnya beribadah dan berperilaku sesuai dengan perintah Allah SWT dan menjauhi diri dari perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.

Kedua, Budaya menasihati yang tumbuh subur di masyarakat. Masyarakat yang memiliki pemikiran, perasaan dan peraturan yang didasari akan ketundukan pada ajaran agamanya akan menjalankan fungsi ber-amar ma’ruf nahi mungkar.

Ketiga, Kepedulian totalitas dari negara. Negara adalah pilar yang paling kuat dalam menumpas kejahatan. Karena negara memiliki mekanisme sistemik untuk menutup setiap celah kejahatan dan benar-benar bisa menjadikan kota-kota yang ada sangat layak bagi tumbuh kembang anak-anak. Di antara mekanisme itu adalah penerapan sistem ekonomi, pendidikan, sosial, media dan sistem sanksi yang komprehensif.

Sudah semestinya negara mengambil posisi dan bertanggung jawab penuh menghilangkan penyebab utamanya yaitu penyebaran budaya liberal, sekularisasi pendidikan, penerapan ekonomi kapitalisme yang kesemuanya berefek pada pelemahan fungsi keluarga, masyarakat, dan negara.

Daruratnya kasus kekerasan terhadap anak hingga hari ini memaksa kita untuk membuka mata,  berpaling dari sekularisme dan kembali kepada ajaran agama sebagai way of life. Yang dengannya sanggup memberi jaminan anak-anak yang tumbuh dan berkembang menjadi sholih dan sholihah.

Identitas Penulis
*Penulis adalah koordinator Jejak, yaitu komunitas literasi di Blitar. Aktif di berbagai kegiatan kepenulisan isu-isu sosial politik dan kemanusiaan.

_____________________

**Kolom merupakan Rubrik Opini LINTASJATIM.com terbuka untuk umum. Panjang naskah minimal 400 kata dan maksimal 2500 kata. Sertakan riwayat singkat dan foto diri terpisah dari naskah (tidak dimasukan Ms. Word).
**Naskah dikirim ke alamat e-mail: redaksilintasjatim@gmail.com
**Redaksi berhak menyeleksi tulisan serta mempublikasi atau tidak mempublikasi tulisan.

Pos terkait