Rocky Gerung dan Logika Demokrasi

Rocky Gerung

Menjadi lawan abadi bagi pemerintah bukan satu-satunya pilihan perjuangan demokrasi. Bagaimana pun pemerintah saat ini, di mana pun, tidak seotoriter pemerintahan di era dulu hingga 90-an. Era Soeharto tidak ada orang yang berani mengkritik sehingga keberanian melakukan itu menjadi sesuatu yang mahal.

Sementara saat ini, kritik dan sikap kritis adalah sesuatu yang bisa dilakukan oleh siapa saja termasuk dengan menggunakan caci-maki sekalipun. Untuk itu perlu fase perjuangan baru pasca era kebebasan dan demokrasi telah dilalui.

Bacaan Lainnya

Fase baru itu mengusung peningkatan mutu demokrasi kita untuk mencapai Indonesia yang adil dan beradab. Bukan berkubang pada dialektika penguasa-oposisi tanpa mendorong tercapainya konsensus-konsensus yang mendukung tercapainya peradaban Indonesia yang tinggi.

Masalah hubungan Agama dan Negara yang masih belum tuntas hendaknya didorong tercapainya konsensus baru yang menutupi kekurangan yang ada. Tidak seperti di Amerika yang membuat tembok pemisah yang jelas (the wall of separation) antara agama dan negara sehingga tidak ada lagi masalah politik identitas berbasis agama, maka di Indonesia yang berketuhanan yang maha esa, masalah itu tindak kunjung selesai.

Kebebasan berbicara dan keharusan bertutur kata pantas masih menjadi perdebatan. Karena kepantasan bersifat relatif dan kebebasan bersifat mutlak, maka seringkali kebebasan mengemuka dan kepantasan menjadi kalah sehingga banyak makian merajalela.

Gegara kebebasan bicara peradaban menjadi terkesampingkan. Banyak tantangan dan pembenahan terus menerus yang harus dilakukan pasca demokrasi telah di tangan. Hal ini tidaklah mudah karena berada pada kisaran yang tipis. Tidak semudah melawan penguasa yang otoriter tapi sesulit mendukung lawan politik yang baik karena memang dia baik.

*Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

Pos terkait