Oleh
Achmad Murtafi Haris*
Rocky Gerung (Roger) menjadi fokus perhatian banyak orang saat ini. Ia menjadi fenomena tersendiri dalam diskursus politik Indonesia pra dan pasca pemilu 2019. Dia seolah menjadi pihak tersendiri dalam tripartit politik Indonesia antara kelompok penguasa, oposisi dan Roger sebagai kampium demokrasi.
Dalam posisi tersebut, Roger selalu bersikap kritis terhadap pemerintah petahana dan pembela terhadap kelompok yang ‘kalah’. Posisinya sekarang yang selalu membela oposisi, lebih karena idealisme demokrasi yang menuntut keberadaan sosok yang terus menerus kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Ini dilakukannya agar pemerintah tidak terjerumus pada diktatorisme dan pengambilan keputusan sepihak yang salah. Dalam hal ini dia seolah mendukung oposisi yang sering diwakili oleh Fadli Zon (Gerindra) dan Fahri Hamzah (PKS) dalam perdebatan di Indonesia Lawyers Club.
Padahal, dia sebenarnya sedang memerankan fungsi kontrol sebagai seorang demokrat sejati bukan sebagai bagian dari partai oposisi itu sendiri.
Posisi kontra pemerintah serupa pernah ditunjukkan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di era Soeharto. Gus Dur, yang kebetulan rekan Roger di Forum Demokrasi, kala itu selalu rajin mengkritisi pemerintah khususnya terkait arah politik Orba yang pada akhirnya merangkul kelompok Islam yang dinilainya menyimpan potensi sektarianisme yang tidak baik bagi demokrasi Indonesia.
Kedekatan Gus Dur dengan kelompok minoritas Kristiani menjadikannya kerap diundang ceramah di gereja hingga menuai banyak kritik dari intern organisasi yang dia pimpin yaitu Nahdlatul Ulama.
Hubungan lintas agama serupa juga ditunjukkan oleh Roger yang penganut Kristiani yang kerap diundang ke masjid untuk ceramah dan memberikan dukungan perjuangan mereka yang kebetulan dari kalangan pendukung Prabowo-Sandi pada pilpres 2019.