Meski keduanya berhasil melampaui sekat agama sehingga masing-masing menjadi pengayom bagi kelompok agama lain, nampak ada perbedaan antara Gus Dur dan Roger dalam hal tersebut. Gus Dur diundang dan aktif membela kelompok agama lain, terutama Kristen dan Konghucu, dalam rentang waktu yang panjang, kapan saja dan di mana saja.
Sementara Roger, kehadirannya di masjid terjadi pada masa pemilu sehingga sulit dielakkan keterlibatannya dalam politik praktis dan bukan untuk memperjuangkan idealisme demokrasi.
Dalam hal ini, nampak Roger tidak memiliki nilai-nilai yang jelas yang hendak diperjuangkan. Dia semata memposisikan diri kontra penguasa yang sebenarnya sudah melimpah diisi oleh kelompok oposisi. Jika yang ditarget adalah Political equilibrium, maka sesungguhnya Gerindra, PKS dan PA 212 sudah cukup mewujudkannya.
Jika Gus Dur memiliki nilai perjuangan jelas, seperti pluralisme, anti-sektarianisme, kebebasan berbicara, perlindungan HAM dan penegakan hukum dan konstitusi, maka Roger nampak sebatas pembela kebebasan berpendapat.
Hal ini menjadikannya tampil sebagai orang yang memiliki logika berfikir yang bagus dengan ditopang penguasaan materi filsafat (seperti Siluet dalam Republik Plato) yang tidak mampu ditandingi lawan. Dengan modal ini, Roger terjebak pada retorika dan adu mulut yang berpotensi menjauhkannya dari diskusi yang solutif. Perbincangan kemudian bergeser ke olok-olok yang hanya bermanfaat untuk tes kesabaran.
Pandangan kritis dan dissenting opinion biar menjadi tugas kelompok oposisi untuk melakukannya. Sementara Roger, lebih baik memiliki proyek demokrasi tersendiri dan mengisi celah yang kosong dalam pembangunan konstruksi berbangsa dan bernegara kita.