Sementara itu para muslim yang “religius” memiliki kecenderungan untuk mendirikan negara Islam di Indonesia. Mereka berpandangan seharusnya seorang pemimpin dari berbagai tingkatan harus dari kalangan islam. Bahkan, mereka menolerir penggunaan kekerasan dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar.
Dari survei tersebut, ada 23,3 persen yang mempunyai orientasi dan kecendurangan kepada negara berdasarkan agama masih tergolong sangat tinggi, sehingga inilah tugas IPNU, bersama seluruh komponen masyarakat untuk bersama-sama agar generasi millenial tidak menjadi generasi yang “kagetan” dan “gumunan” dalam beragama. Lebih lagi generasi millenial tidak menjadi generasi yang berada di “garis keras” dalam memahami serta berperilaku keagaaman dalam kehifupan sehari-hari baik dalam bermasyarakat maupun berbangsa dan bermegara.
Kegaiatan-kegiatan keagamaan di sekolah-sekolah dan kampus harus menjadi kawah candradimuka penyemaian bibit-bibit unggul bangsa dengan mengorientasikan semangat islam moderat, toleran, rahmatan lil alamin, dan semangat Hubbul Wathon Minal Iman.
Kader-kader IPNU yang “kebanyakan” berasal dari madrasah dan pesantrren juga harus masuk ke sekolah-sekolah negeri untuk menjadi mentor bagi kegiatan-kegiatan rohis di sekolah-sekolah. Tentunya dengan kemasan yang menarik dan tidak kaku. Dengan modal sumberdaya manusia millenial yang banyak dari jebolan pesantren, IPNU bisa menjadi garda depan dalam gerakan millenial moderat yang nasionalis dan religius.
Jadi bukan kemudian secara struktur di sekolah-sekolah negeri itu harus ada Komisariat sekolahnya, tapi bagaimana agar nilai-nilai yang di syi’arkan IPNU selama ini bisa diterima oleh mereka melalui kegiatan-kegiatan keagamaan, pengembangan skil, dan lain sebagianya.
Semoga diusia ke 66 ini, IPNU semakin jaya, dan bermanfaat untuk agama, bangsa dan negara. Amin…
*Alumni IPNU & Anggota DPRD Kab. Lamongan Fraksi Gerindra