R20, Santri, dan Peran Global Agama

Wahidul Anam Rektor IAIN Kediri
Wahidul Anam Rektor IAIN Kediri

Oleh:
Wahidul Anam
(Rektor IAIN Kediri sekaligus Koordinator Jaringan Gusdurian Kota Blitar)

Perhelatanakbar Religion of Twenty atau R20 Forum yang akan digelar bersamaan dengan forum G20 di Bali pada awal Nopember 2022 mempunyai makna yang strategis bagi makna dan fungsi dari agama itu sendiri. Forum ini digelar ditengah-tengah maraknya politik identitas, dimana agama sering digunakan untuk memberikan legitimasi kepentingan politik tertentu dengan mengatasnamakan kepentingan agama.

Bacaan Lainnya

KH. Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU, sebagai inisiator Religion of Twenty, bersama Rabithah Alam Islamiy atau Liga Muslim Dunia,  mempunyai harapan besar agar forum ini dapat memastikan agama dapat menjadi solusi masalah global, bukan sebaliknya, yang menjadikan agama sebagai masalah global.

Menurut catatan Romo Haryatmoko, pada umumnya ada dua wajah agama yang mengemuka dalam kehidupan masyarakat, pertama agama merupakan tempat dimana orang menemukan kedamaian, kedalaman hidup dan harapan yang kukuh. Agama juga menjadikan banyak orang dan kelompok mendapatkan topangan berhadapan dengan penderitaan, penindasan dan rezim totaliter.

Pada wajah ini, sering kita melihat banyak orang ketika menghadapi problematika kehidupan, kesedihan yang mendalam, atau persoalan yang dihadapi diluar kemampuan manusia, mereka mengembalikan pada agama dengan berbagai cara sesuai dengan tradisi masing-masing agama.

Wajah kedua dari agama, adalah sejarah mencatat, betapa besar andil “agama” dalam membakar kebencian, dan meniupkan kecurigaan, membangkitkan salah pengertian, dan mengundang konflik, agama sering memberikan landasan ideologis dan pembenaran simbolis dalam suatu konflik, bahkan pembenaran ini meneguhkan tekad, mempertajam permusuhan, dan memistiskan motif pertentangan menjadi perjuangan membela iman dan kebenaran, demi Tuhan.

Peristiwa tanggal 20 Juli 2016 misalnya, telah terjadi perusakan beberapa Vihara di Tanjung Balai Sumatra Utara, yang menyebabkan kerugian Milyaran Rupiah, begitu juga peristiwa pembongkaran menara masjid al-Aqsa Sentani oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Kabupaten Jayapura (PGGI) serta penolakan pendirian Gereja di Kota Cilegon yang pelopori oleh kepala daerah, menunjukkan betapa “agama” mempunyai andil besar dalam meniupkan kecurigaan dan membakar kebencian.    

Maka, Religion of Twenty atau R20 Forum diharapkan dapat menampilkan wajah ketiga dari agama, yaitu agama harus dapat menampilkan diri sebagai solusi atas berbagai problem social yang muncul, agama dapat menampilkan nilai-nilai moral dan spiritual tertinggi untuk membawa struktur kekuatan geopolitik dan ekonomi dunia yang kokoh dan manusiawi, jangan nilai atau norma agama yang mulia dan luhur ini justru dijadikan alat legitimasi konflik antar umat beragama, diskriminasi terhadap kelompok minoritas dan lain sebagainya yang justru menjauhkan dari nilai yang hakiki dari agama.

Dalam posisi inilah, santri mempunyai tanggung jawab moral dalam mengembangkan pemikiran keagamaan yang baru dari pemikiran yang bersifat teosenteris menuju antroposentris. Pemikiran keagamaan teosentris memunculkan kesan yang amat kuat bahwa bertauhid itu sudah selesei dengan beriman kepada Allah dan berhenti pada pengertian ini saja, dalam pandangan ini arti dan nilai perbuatan yang dilakukan oleh manusia selalu diatribusikan dengan Tuhan. Seolah pemikiran yang bersifat teosenteris itu tidak memberikan peran apapun terhadap pemikiran manusia, dan kehidupan manusia hanya untuk Tuhan semata.

Hasan Hanafi memberikan catatan kritis terhadap pemikiran yang bersifat teosenteris ini, dia menyatakan bahwa pemikiran yang bersifat teosenteris ini tidak dapat dijadikan pandangan hidup yang dapat memberikan motivasi dalam tindakan kongkrit kehidupan manusia. Model pemikiran yang bersifat teosenteris tidak dibangun berdasarkan atas kesadaran murni dan nilai perbuatan manusia. Sehingga menimbulkan kesenjangan yang luar biasa antara keimanan teoritik dan keimanan praktis orang beragama.

Berbeda dengan pemikiran yang bersifat teosenteris, pemikiran dengan basis antroposentris berpijak pada kekuatan yang dianugerahkan Allah swt kepada manusia. Antroposentris ini tidak hanya mengakui akan keesaan dan peran utama Tuhan, tapi juga memberikan ruang yang luas peran akal dan pikiran manusia, cara berpikir ini menganggap manusia adalah entiti penting dalam alam semesta. Antroposentris berarti menafsirkan dan menganggap dunia dari segi nilai dan pengalaman manusia. Apa implikasinya dalam pemikiran keagamaan?

Merujuk pendapat Fazlurahman, maka agama dan teks keagamaan harus menjadikan manusia dan kemanusiaan sebagai pusat. Agama harus menempatkan isu-isu kemanusiaan dan problematika yang dihadapi umat manusia sebagai hal yang fundamental dalam praktek dan wacana keagamaan.

Dengan demikian, kedepan, agama harus memprioritaskan persoalan social-kemanusiaan dan problematika umat manusia secara menyeluruh. Santri sebagai intelektual yang terus berkembang sudah harus mulai mengembangkan fikih hubungan antar umat agama, fikih lingkungan hidup, teologi kemanusiaan dan lain sebagainya, sehingga peran global dari agama dapat dirasakan oleh umat manusia secara menyeluruh. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam….


**Kolom merupakan Rubrik Opini LINTASJATIM.com terbuka untuk umum. Panjang naskah minimal 400 kata dan maksimal 2500 kata. Sertakan riwayat singkat dan foto diri terpisah dari naskah (tidak dimasukan Ms. Word).
**Naskah dikirim ke alamat e-mail: redaksilintasjatim@gmail.com atau ke Wa Center
**Redaksi berhak menyeleksi tulisan serta mempublikasi atau tidak mempublikasi tulisan.
**Redaksi berhak merubah judul untuk keperluan SEO (search engine optimization)

Pos terkait