Never Ending Impor Garam, Kehidupan Petambak Semakin Suram

Petani Garam
Petani Garam

Oleh
Dwi Indah Lestari, S.TP*

Sungguh mengherankan! Sumber daya garam di Indonesia sangatlah berlimpah. Bahkan memiliki wilayah yang terkenal dengan sebutan Pulau Garam. Namun impor garam seakan tak pernah absen menjadi kebijakan pemerintah. Ada apa sebenarnya dengan persoalan garam di negeri ini?

Bacaan Lainnya

Keputusan pemerintah untuk mengimpor garam sebesar 3 juta ton tahun 2021 sepertinya telah final, demikian yang disampaikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono. Alasan yang mendasari kebijakan ini di antaranya adalah untuk memenuhi kebutuhan garam industri, dimana stok garam petani belum mampu mencukupinya dan secara kualitas belum memenuhi standar yang diinginkan. (merdeka.com, 21 Maret 2021).

Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita juga menyampaikan, alasan lain dari impor garam ini adalah karena garam petani lokal belum dapat memenuhi kebutuhan industri secara berkesinambungan. Berdasarkan data dari KKP, jumlah produksi garam lokal adalah 1,3 juta ton pada tahun 2020, padahal kebutuhan industri mencapai 4,6 juta ton dan cenderung meningkat 5-7 persen per tahunnya (kompas.com, 25 September 2021).

Alasan Klasik Impor Garam

Pemerintah selalu beralasan bahwa kebijakan impor dilakukan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan garam industri yang belum mampu dipenuhi oleh garam lokal, terutama dari sisi kualitasnya yang masih rendah. Presiden Joko Widodo sendiri sempat menyesalkan hal ini, mengapa persoalan kualitas garam lokal yang tidak memenuhi standar belum dapat dicarikan jalan keluarnya.

Tentu saja petani garam lah yang paling merasakan dampaknya. Saat rencana impor garam diumumkan saja, langsung berimbas pada anjloknya harga garam lokal. Harga garam petani pernah menyentuh angka Rp 100-200 saja per kilogramnya. Bisa dibayangkan bagaimana nestapa yang dirasakan para petani garam melihat kenyataan ini.

Menurut Ketua Umum HMPG Mohammad Hasan, dilansir dari kompas.com (26/3), impor garam dengan alasan kualitas garam lokal yang rendah hanyalah pembenaran bagi importir. Pemerintah sebenarnya bisa mengupayakan peningkatan kuantitas dan kualitas garam petani melalui penerapan teknologi geoisoiator atau membrane.

Jadi sebenarnya yang dibutuhkan adalah keseriusan pemerintah untuk mau mengelola potensi sumber daya garam yang sebenarnya melimpah. Apalagi Indonesia adalah negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Maka mewujudkan swasembada garam nasional rasanya sangat mungkin untuk dilakukan.

Menanti Keseriusan Pemerintah

Keseriusan tersebut sebenarnya bisa ditunjukkan dengan mulai membangun industri garam nasional yang mandiri dan lebih berpihak pada peningkatan kuantitas dan kualitas garam lokal. Tambak-tambak milik petani diberdayakan dengan menerapkan sistem teknologi yang modern, agar produktivitasnya optimal baik volume maupun kualitasnya. Petani diberikan pelatihan dalam mengolahnya, sekaligus modal dan sarana prasarana yang menunjang.

Pemerintah juga perlu membangun akses transportasi yang memudahkan proses pengangkutan garam, berupa jalan, sehingga dapat menekan biaya angkut dari tambak-tambak sekaligus memperlancar distribusinya. Selain itu harus ada dukungan terhadap riset atau penelitian untuk menemukan teknologi-teknologi baru yang akan semakin meningkatkan produktivitas garam nasional.

Berikutnya adalah memberantas praktek-praktek kartel yang suka memainkan harga di pasaran dan menerapkan sanksi tegas bagi siapapun yang melanggarnya. Negara sebaiknya membiarkan harga terbentuk melalui mekanisme pasar tanpa melakukan intervensi. Bila terjadi kelebihan stok, negara bisa membeli garam petani dengan membangun gudang-gudang sebagai tempat penyimpanan dan dapat dikeluarkan saat kondisi krisis.

Selanjutnya negara perlu mengendalikan kebijakan impor dengan tidak melakukannya saat kebutuhan garam masih bisa dipenuhi dari dalam negeri. Semua itu tentunya membutuhkan dukungan penuh dari pemerintah, baik dalam hal pendanaannya yang harus sepenuhnya diberikan oleh negara, maupun perangkat kebijakannya.

Namun sayangnya, pemerintah terkesan lebih suka mengambil jalan pintas, yaitu dengan melakukan impor. Padahal impor hanya akan menguntungkan segelintir pengusaha dan berpotensi mematikan tambak-tambak garam milik petani. Dampak yang lebih besar lagi adalah dapat menyebabkan ketergantungan kepada negara lain yang bisa menjadi jalan masuk bagi asing untuk mengontrol kebijakan-kebijakan negara pengimpor agar selalu berpihak pada kepentingan mereka.

Pemerintah seharusnya menyadari kembali bahwa mewujudkan kesejahteraan yang adil dan merata merupakan tanggung jawab dari kepemimpinaan yang diembannya saat ini. Para petani garam membutuhkan langkah nyata negara untuk dapat mengangkat kehidupan mereka yang semakin suram akibat polemik impor ini. Rakyat kini menantikan realisasi dari janji-janji para pemimpin yang mengatakan akan menyejahterakan kehidupan mereka. Wallahu’alam bisshowab.

Identitas Penulis
*Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Publik Sumenep.


**Kolom merupakan Rubrik Opini LINTASJATIM.com terbuka untuk umum. Panjang naskah minimal 400 kata dan maksimal 2500 kata. Sertakan riwayat singkat dan foto diri terpisah dari naskah (tidak dimasukan Ms. Word).
**Naskah dikirim ke alamat e-mail: redaksilintasjatim@gmail.com atau ke Wa Center
**Redaksi berhak menyeleksi tulisan serta mempublikasi atau tidak mempublikasi tulisan.
**Redaksi berhak merubah judul untuk keperluan SEO (search engine optimization)

Pos terkait