Jika tidak dapat memberi solusi atas masalah yang dihadapi, jangan menjadi bagian dari masalah dan mengabaikan masalah. Nilai kasih sayang antar manusia terhubung dengan kasih sayang Tuhan, sebagaimana hadits Nabi yang artinya: “Orang-orang yang penyayang itu akan dikasihi oleh Yang Maha Penyayang dan Yang Mahasuci lagi Mahatinggi, maka sayangilah makhluk yang ada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh makhluk yang ada di langit.” (H.R. ‘Abdullāh bin ‘Amr ra).
Islam juga mengajarkan nilai “tarāḥum” atau welas asih dengan sesama secara praksis. Surah Al-Mā‘ūn misalnya. Surah ini mengandung praksis kemanusiaan pro-duafa yang berwatak welas asih tersebut. Menurut Dokter Soetomo, tokoh Boedi Oetomo yang juga perintis Klinik PKU Muhammadiyah Surabaya tahun 1924, nilai welas asih (kasih sayang) dari ajaran al-Mā‘ūn menjadi pembeda dengan pandangan tentang perjuangan manusia dalam seleksi alam ala Charles Darwin (The Origin Of Species).
Hukum evolusi alam hanya memberi peluang organisme unggul yang akan mampu bertahan dalam perjuangan hidup. Narasi itu sejalan dengan hukum siapa yang kuat maka dia yang menang dalam teori “survival of the fittest” dari sosiolog Herbert Spencer. Sebaliknya, ajaran welas asih dari Al-Mā‘ūn justru mendasarkan perjuangan hidup secara bersama sehingga yang kuat mau berbagi dengan yang lemah, bukan sebaliknya mengorbankan yang lemah. Mereka yang lemah pun tetap berbuat baik terhadap sesama.
Penderitaan akibat pandemi ini mestinya diletakkan dalam kemanusiaan yang humanistik dan profetik tentang pentingnya hidup “peduli dan berbagi” dalam bingkai nilai kasih sayang yang diajarkan Islam. Kyai Dahlan dengan cerdas dan orisinil mampu menerjemahkan ajaran welas asih dari Al-Mā‘ūn ke dalam pranata modern berupa wujud rumah sakit (hospital, ziekenhuis), rumah miskin (armeinhuis), dan rumah yatim (weeshuis).
Oleh karena itu, manusia yang bertakwa juga tidak akan menganggap dirinya dan memandang manusia yang lain sebagai makhluk indrawi semata sebagaimana paradigma nalar materialisme. Sebagai makhluk berakal-pikiran belaka dalam pandangan liberal-sekular, tanpa menyatukannya dengan unsur penting keruhanian dan jiwa (fitrah) beragama sebagaimana pandangan Islam yang holistik.
Manusia dengan seluruh dimensinya mesti diletakkan dalam ruang metafisika dan kosmologi kehidupan yang utuh, bermakna, dan multidimensi. Termasuk dalam menempatkan musibah dan derita manusia sebagai urusan yang penting dan berharga, bukan sebagai persoalan parsial dan instrumental. Sebaliknya manusia sendiri jangan merendahkan martabat dan keberadaannya sehingga jatuh ke tempat yang hina dalam posisi yang serendah-rendahnya atau “asfala safilin” (Q.S. At-Tīn: 5).
Jamaah Kaum Muslimin Rahimakumullah
Walau sudah kita jalani selama satu bulan, ada baiknya kita memahami ulang makna puasa yang telah kita jalani. Semoga dengan selalu mengingat makna puasa ini, hidup kita selalu dapat terkendali untuk terus berproses menjadi manusia yang bertakwa.
Puasa atau al-shaumu mempunyai makna dasarnya ’berhenti dari’ atau al-imsak, yaitu ’menahan diri’. Verbal syariah menahan diri dari makan, minum, dan pemenuhan kebutuhan biologis dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Sedangkan Makna hakikinya ’menahan diri dari hawa nafsu atas dunia’, yang sering menjerumuskan manusia pada cinta dunia melampaui batas, sehingga hidupnya jadi pemuja kesenangan (hedonis), pengejar kegunaan (pragmatis), dan pemburu kesempatan (oportunistis) dengan mengabaikan nilai-nilai utama kebenaran, kebaikan, dan etika.
Energi rohaniah ibadah puasa terletak pada daya pengendalian diri (self-control) setiap insan Muslim yang berpuasa dari segala pesona duniawi agar tak menjadi pemburu kuasa dunia yang melampaui takaran. Dunia diperbolehkan untuk diraih dan dinikmati secukupnya, selebihnya dimanfaatkan untuk kemaslahatan hidup bersama.
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..
Urusan dunia, seperti meraih harta dan takhta, pun harus diikhtiarkan dengan cara baik dan diperuntukkan bagi kebaikan sehingga segala raihan duniawi itu menjadi bekal sekaligus jalan keutamaan menuju kebahagiaan hidup sejati di akhirat kelak. (QS Al-Qashas: 77).
Syed Ameer Ali memberi pemaknaan yang mendalam tentang kekhususan puasa dalam Islam. Ajaran puasa berbeda dengan tradisi pra-Islam, yakni sebagai ajaran ”pengekangan nafsu” dan bukan ”penebusan dosa”. Puasa dalam Islam, tulis Ameer, ”merupakan laku ibadah yang sah untuk mengendalikan hawa nafsu”. Latar historisnya, bangsa jahiliah sebelum Islam dikenal rakus, mengumbar nafsu, dan kejahatan yang melampaui batas. Karena itu, perlu didekonstruksi bukan dengan anti-pemenuhan kebutuhan duniawi, yang diperlukan pembatasan atau pengendalian.
Puasa merupakan representasi dari jalan rohani membangun benteng kokoh di dalam diri setiap Muslim dari keliaran nafsu duniawi yang sarat pesona. Hasrat makan, minum, dan hasrat biologis merupakan gambaran simbolis dari segala nafsu dunia, menurut sufi ternama Jalaluddin Rumi bagaikan ”ibu dari semua berhala”.
Segala petaka hidup bermula dari hawa nafsu primitif yang tak terkendali, yang mendorong manusia ingin menguasai dunia melampaui batasan. Korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kesewenang-wenangan, menguras alam, perang, dan berbagai kejahatan di muka bumi bermula dari hasrat berlebih akan kejayaan duniawi itu.
Hawa nafsu dunia, seperti penguasaan harta, takhta, dan kuasa inderawi lainnya, jika tanpa rem spiritual tidak akan pernah berhenti. Laksana pesona gunung emas dalam ilustrasi hadis Nabi. Jika manusia meminta gunung emas pertama, setelah memperolehnya akan meminta yang kedua, setelah itu meminta gunung emas ketiga.
Selalu banyak ruang, alasan, pembenaran, sekaligus faktor pendukung bagi manusia untuk memenuhi hasrat duniawinya yang tak berkesudahan. Tuhan pun memberi label ”at-takatsur” bagi mereka yang rakus dunia itu, yang tiada akan berhenti kecuali ajal kematian memisahkannya.
Karena itu, tulis Syed Ameer, ”Puasa amat cocok sebagai cara untuk mengendalikan dorongan nafsu hewani manusia, terutama di kalangan suku-suku bangsa yang masih setengah beradab”.
Makna lainnya, tanda bangsa beradab ialah hidup bermartabat dan tidak rakus dalam memenuhi kebutuhan duniawi, serta memanfaatkan kecukupan kuasa dunia itu untuk hidup bermakna dan berfaedah menggapai derajat keutamaan.
Meminjam teori Abraham Moslow, tingkat hidup manusia bergerak dari pemenuhan kebutuhan primer yang elementer menuju aktualisasi diri yang substantif sehingga proses pencapaian hidupnya bergerak dari struktur bawah yang serba inderawi ke tangga teratas yang bersifat rohani sarat arti hakiki.
Titik tuju puasa agar setiap insan Muslim meraih puncak kualitas diri terbaik yakni menjadi al-muttaqun, orang-orang bertakwa (QS Al-Baqarah: 183). Di antara ciri bertakwa ialah memberi di saat lapang dan sulit, menahan marah, memberi maaf, serta tidak melakukan perbuatan buruk dan keji (QS Ali Imran: 134-135).
Mereka yang lulus puasa ialah yang sukses menaklukkan jiwa primitifnya menuju kualitas diri yang secara rohaniah paripurna. Itulah puasa sebagai jalan terjal menuju pencapaian puncak rohaniah tertinggi yang tercerahkan, yakni spiritualitas luhur perpaduan harmonis antara nilai-nilai Ilahiah dan insaniah yang terpancar dalam segala kebajikan hidup di muka bumi.
Puasa sebagai jalan rohani pengendalian hawa nafsu manakala dilakukan pada tingkat khusus (khawas al-khusus) melahirkan sikap futhuwah, kesatriaan diri. Ketika orang berpuasa diajak berseteru atau hal-hal buruk, dia akan menjawab ”inni shaimun”, aku sedang berpuasa.
Legasi dan cita-cita hidupnya naik kelas signifikan dari kegemaran meraih kesuksesan fisik-ragawi ke spiritualitas tertinggi (irfa’), yang mencerahkan semesta kehidupan bersama. Meminjam diksi Yuval Harari, manusia berspiritualitas tinggi orientasi hidupnya bergerak dari homo sapiens ke homo deus untuk menjadi makhluk tingkat dewa.
اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ
Jamaah Kaum Muslimin Rahimakumullah
Dari sisi yang lain, puasa sejatinya merupakan energi rohaniah yang dahsyat untuk diproyeksikan membangkitkan kekuatan umat Islam agar menjadi khayra ummah di bumi nyata. Dimulai dari membangun kekuatan rohani sebagai basis utama, kemudian memancarkan perubahan alam pikiran, tindakan, dan karya atau amaliah yang berkemajuan sesuai dengan jiwa Islam.
Islam yang membangkitkan kesadaran untuk maju meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (QS Al Baqarah: 201). Islam yang meletakkan takwa sepadan dengan kesadaran masa depan terdekat (dunia) maupun terjauh atau akhirat kelak (QS Al Hasyr: 18).
Basis rohani yang dibangun puasa Ramadan ialah terbentuknya insan yang bertakwa sebagai aktor yang rohaninya sempurna atau paripurna sebagai kekuatan penggerak kehidupan yang baik dan luhur. Baik secara vertikal (habluminallah) maupun horizontal (habluminannas). Hal ini sesuai dengan tujuan puasa agar pelakunya menjadi orang yang bertakwa, la’allakum tattaqun (QS Al Baqarah: 183).
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..