لَيْسَ الْبِرَّاَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةِ وَالْكِتٰبِ وَالنَّبِيّٖنَ ۚ وَاٰتَى الْمَالَ عَلٰى حُبِّهٖ ذَوِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِۙ وَالسَّاۤىِٕلِيْنَ وَفىِ الرِّقَابِۚ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ ۚ وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عَاهَدُوْا ۚ وَالصّٰبِرِيْنَ فِى الْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ
Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS Al-Baqarah: 177).
اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ
Jamaah Kaum Muslimin Rahimakumullah
Dari dua ayat di atas, orang yang berpuasa diharapkan akan memiliki kualitas kesalehan yang otentik dan menjadi pembentuk tindakan yang mulia (al akhlaq al karimah). Perbuatan baiknya wujud kesalehan yang murni, tidak dibuat-buat. Insan muslim hasil puasa dan membentuk kualitas takwa akan menjadi aktor tangguh dari segala pandemi virus keburukan dan kemungkaran. Orang yang sungguh-sungguh bertakwa tidak akan korupsi, baik diawasi maupun tidak diawasi, ketika memperoleh peluang maupun tidak.
Dengan kata lain, manusia yang bertakwa akan senantiasa menggunakan akal-budinya dengan baik agar tidak berperangai seperti hewan, sebagaimana peringatan Allah dalam Al-Qur’an yang artinya: “Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah” (Q.S. Al-A‘rāf: 179).
Memang, perilaku hewaniah itu kadang terlihat bias atau absurd karena sering dibingkai oleh alam pikiran dan ilmu pengetahuan yang secara teoritik tampak benar dan “maju”, tetapi sejatinya salah kaprah sehingga merendahkan martabat dan kemuliaan manusia. Manusia modern yang semestinya membangun kehidupan dengan keadaban luhur, malah jatuh ke dalam sangkar-besi kemodernan yang dibangunnya sendiri, sehingga menurut sosiolog Peter L. Berger manusia menjadi “chaos”, yakni menjalani kehidupan yang kacau.
Alam pikiran posmodern dengan nalar dekonstruksi dapat memutar balik epistemologi ilmu dan kehidupan yang benar menjadi salah atau disalahkan sebagaimana paradigma “post truth” yang kini meluas di ruang publik. Kemudian terjadi ironi, yang salah dibenarkan dan memperoleh dukungan luas, sementara yang benar disalahkan dan diketepikan. Kehidupan “chaos” seperti itu dalam rujukan nalar sejarah Tanah Jawa disebut hidup di zaman “Kalabendu” sebagaimana tertulis pada “Ramalan Jayabaya”.
Masih merujuk pada QS Ali Imran134, ibadah puasa idealnya juga harus semakin menyuburkan jiwa kasih sayang yang setidaknya teraplikasikan dalam kebiasaannya untuk terus berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit dan bersedia memberi maaf orang yang berbuat salah kepadanya bukan malah sebaliknya menjadi insan pengumbar amarah bukan penahan amarah. Jika tidak mau membantu sesama jangan bertindak semaunya.
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..