Allah telah memuji Nabi Ibrahim dalam firman-Nya:
اِنَّ اِبْرٰهِيْمَ كَانَ اُمَّةً قَانِتًا لِّلّٰهِ حَنِيْفًاۗ وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۙ شَاكِرًا لِّاَنْعُمِهِ ۖ (النحل: ١٢٠-١٢١)
Maknanya: “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam panutan nan taat kepada Allah serta berpaling pada agama yang lurus. Dan ia tidak pernah termasuk orang-orang musyrik. Dia adalah orang yang bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya” (QS an-Nahl: 120-121).
Dalam kitab tafsirnya, ath-Thabari mengatakan:
“Maknanya Ibrahim tulus bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan Allah kepadanya. Dan dalam bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya tersebut, Ibrahim tidak menjadikan sekutu bagi-Nya.”
Artinya, syukur Nabi Ibrahim kepada Allah diwujudkan dengan beriman kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Sedangkan orang-orang yang syukur mereka tidak sempurna adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tapi masih meninggalkan kewajiban dan melakukan perkara yang diharamkan. Keadaan mereka di akhirat tergantung kehendak Allah.
Jika Ia berkehendak, mereka diampuni oleh-Nya dan langsung dimasukkan surga. Dan jika Ia berkehendak, mereka tidak diampuni oleh-Nya lalu dimasukkan ke dalam neraka beberapa lama. Akan tetapi walau bagaimanapun, seseorang yang mati dalam keadaan beriman, pada akhirnya semuanya akan dimasukkan ke dalam surga.
Hadirin rahimakumullah,
Jika keluhuran budi dan akhlak yang terpuji menuntut kita untuk membalas sesama hamba yang berbuat baik kepada kita dengan berterima kasih dan berbuat baik kepadanya, maka lebih utama bagi kita untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat yang dikaruniakan-Nya kepada kita. Imam al Junaid pernah ditanya tentang apa itu syukur. Beliau menjawab:
أَنْ لَا يُعْصَى اللهُ بِنِعَمِهِ
“(Syukur yang wajib adalah) tidak bermaksiat kepada Allah dengan nikmat-nikmat-Nya.”
Seseorang yang menunaikan semua kewajiban dan meninggalkan seluruh perkara yang diharamkan, maka ia adalah hamba yang syaakir. Kemudian, jika ia tidak disibukkan dengan nikmat sehingga melalaikan syukur kepada Sang Pemberi nikmat, dan ia menyadari betapa agungnya nikmat Allah yang selalu melingkupinya dan perasaan itu semakin kokoh dalam dirinya serta ia memperbanyak amal-amal kebaikan lebih dari kewajibannya, maka ia disebut hamba yang syakuur (pandai bersyukur). Hamba yang syakuur lebih sedikit jumlahnya daripada hamba yang syaakir. Allah ta’ala berfirman:
وَقَلِيْلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ (سبأ: ١٣)
Maknanya: “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang mencapai derajat syakuur” (QS Saba’: 13)
Jadi, orang-orang bertakwa yang bersih dari dosa dan tidak disibukkan dengan nikmat sehingga melalaikan syukur kepada Dzat Pemberi nikmat, adalah orang-orang yang sangat jarang dan sedikit di antara kaum Muslimin.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
النَّاسُ كَإِبِلٍ مِائَةٍ لَا تَكَادُ تَجِدُ فِيْهَا رَاحِلَةً (رواه مسلم)
Maknanya: “Umat manusia itu ibarat seratus ekor unta. Hampir tidak kamu dapati di antara mereka yang layak untuk ditunggangi dalam perjalanan jauh” (HR Muslim).
Dalam hadits ini terdapat sebuah isyarat bahwa kebanyakan orang memiliki kekurangan. Sedangkan orang-orang mulia yang zuhud terhadap dunia, mengejar kebahagiaan akhirat dan memenuhi syukur dengan sempurna, jumlah mereka sangat sedikit.
Orang-orang pilihan tersebut ibarat satu unta yang layak dijadikan sebagai hewan tunggangan, di antara sekelompok unta yang ada. Satu unta ini yang bagus dan layak dikendarai untuk perjalanan jauh di antara sekelompok unta tersebut.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
BACA HALAMAN BERIKUTNYA..