LINTASJATIM.com, Sidoarjo – Di balik julukannya sebagai ‘Kampung Asap’, Desa Penatarsewu, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, menyimpan kisah tentang ketekunan warganya menjaga warisan leluhur sekaligus menggerakkan roda ekonomi.
Dikutip dari detikJatim.com, lebih dari separuh penduduk desa ini setiap hari menggantungkan hidup dari usaha pengasapan ikan. Dari bandeng, mujair, hingga keting, semuanya diolah dengan cara tradisional menggunakan batok kelapa atau kayu bakar.
Purwati (36), warga setempat, mengaku sudah 15 tahun menjalani profesi ini bersama suaminya. Ia menuturkan, setiap hari bisa menghabiskan 60 hingga 100 kilogram ikan segar untuk diasap.
“Biasanya saya pasarkan ke pasar-pasar di Sidoarjo. Kalau warnanya sudah coklat keemasan, tandanya matang. Harus telaten, kalau tidak bisa gosong atau malah kurang kering,” ujar Purwati, Minggu (21/9/2025).
Namun, ia juga mengeluhkan sulitnya mencari batok kelapa sebagai bahan bakar utama.
“Sekarang susah cari batok kelapa, harganya naik. Kadang di pasar pun kehabisan,” tambahnya.
Dari usaha sederhana itu, perputaran uang yang beredar di Penatarsewu bisa menembus miliaran rupiah setiap harinya. Thoyibah (55), perajin lain, menyebut ikan asap memberi keuntungan besar karena nilai jualnya meningkat dua kali lipat setelah diolah.
“Saya bisa memanggang sampai satu kwintal per hari. Mujair dan bandeng yang paling cepat laku. Dari Rp35 ribu per kilo, bisa jadi Rp60 ribu lebih setelah diasap,” ungkapnya.
Bagi warga, pengasapan ikan bukan sekadar pekerjaan, melainkan bagian dari identitas desa. Tradisi itu diwariskan lintas generasi, sekaligus menjadi ikon kuliner khas Sidoarjo.
“Selama orang masih suka makan ikan asap, kami akan terus produksi. Ini bukan hanya pekerjaan, tapi juga warisan keluarga,” pungkas Purwati.