LINTASJATIM.com, Probolinggo – Alih-alih menunggu tindakan dari otoritas formal, masyarakat Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Probolinggo, mengambil inisiatif sendiri untuk melindungi wisatawan Gunung Bromo.
Dipicu oleh meningkatnya angka kecelakaan, Kepala Desa Ngadisari, Sunaryono, memilih bersikap tegas: sepeda motor matic diminta tidak naik ke kawasan Bromo.
“Kami sudah terlalu sering melihat kecelakaan, bahkan sampai merenggut nyawa. Jadi kami memilih mencegah sebelum jatuh korban lagi,” ujar Sunaryono, Sabtu (5/7/2025).
Kebijakan lokal ini muncul karena banyaknya insiden rem blong yang menimpa pengendara matic di jalur ekstrem Bromo. Salah satu titik paling berbahaya, menurutnya, adalah turunan tajam di wilayah Lemah Kuning atau yang dikenal warga sebagai ‘Tengking’.
“Pengendara sering terkecoh. Begitu lewat tanjakan panjang lalu masuk dataran, mereka pikir sudah aman. Padahal setelah itu langsung turunan curam. Banyak yang panik, remnya malah blong,” ungkapnya.
Tak hanya membahayakan pengendara, kecelakaan ini juga kerap menimbulkan kekhawatiran warga karena kendaraan yang lepas kendali kerap berhenti di pemukiman. Sayangnya, meski kejadian serupa terus terulang, belum ada penanganan serius dari pihak pengelola wisata.
“Polisi tidak bisa melarang secara hukum, tapi kami sebagai tuan rumah punya tanggung jawab moral. Kami sudah usulkan pemeriksaan teknis kendaraan di pos masuk, tapi belum jalan. Seolah-olah pengelola tiket dan asuransi tidak mau tahu,” keluh Sunaryono.
Ia juga menyoroti ketimpangan dalam pembagian hasil tiket wisata. Menurutnya, desa yang berada di garis depan risiko justru tak mendapat sokongan dana pengamanan.
“Selama ini satu persen pun tak ada untuk keselamatan warga. Kalau ada, kami bisa libatkan masyarakat bantu pengawasan di jalur rawan,” tegasnya.
Meski tanpa dukungan penuh, warga Ngadisari tetap melanjutkan penghalauan sepeda motor matic sejak momen Yadnya Kasada beberapa waktu lalu. Hasilnya, selama tiga hari pelaksanaan upacara adat tersebut, tidak terjadi satu pun kecelakaan.
“Kami ingin jadikan ini praktik awal. Tapi tetap, kami butuh dukungan peralatan darurat seperti tangki pemadam dan alat evakuasi di titik-titik kritis,” harap Sunaryono.
Ia juga menyerukan adanya koordinasi antar daerah, mengingat akses ke Bromo tak hanya melalui Probolinggo, tetapi juga Pasuruan, Lumajang, dan Malang.
“Kalau masing-masing jalur punya pendekatan sendiri-sendiri, keselamatan wisatawan tetap rentan. Perlu ada kesepahaman lintas wilayah,” pungkasnya.