LINTASJATIM.com – Malam 1 Suro, awal Tahun Baru Islam dalam kalender Jawa, selalu menjadi momen istimewa yang diselimuti nuansa mistis sekaligus khidmat bagi masyarakat Jawa Timur.
Jauh dari hingar bingar perayaan modern, malam pergantian tahun ini dirayakan dengan cara yang unik, sarat makna, dan berbeda di setiap daerah, menawarkan potret kekayaan budaya yang tak lekang oleh waktu.
Di berbagai penjuru Jawa Timur, tradisi menyambut 1 Suro memiliki corak khasnya masing-masing. Di wilayah pesisir selatan, seperti Trenggalek dan Pacitan, ritual Larung Sesaji ke laut menjadi puncak peringatan.
Ribuan warga berbondong-bondong membawa berbagai sesaji dan hasil bumi untuk dilarung ke tengah samudra sebagai wujud syukur dan permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dentuman gamelan yang mengiringi prosesi menambah khidmat suasana, seolah menyatukan manusia dengan alam.
Bergeser ke daerah pegunungan seperti Malang dan Lumajang, tradisi ‘Tirakatan’ atau meditasi dalam keheningan menjadi pilihan utama.
Banyak masyarakat memilih untuk berkumpul di tempat-tempat keramat, gua, atau puncak gunung untuk melakukan introspeksi diri, memohon berkah, dan membersihkan jiwa dari hal-hal negatif.
Suasana malam yang sunyi, hanya dipecah oleh suara jangkrik dan embusan angin, kian menambah kekhusyukan.
Tak kalah menarik adalah tradisi Kirab Pusaka yang banyak dijumpai di kota-kota tua seperti Kediri, Blitar, dan Surabaya. Benda-benda pusaka keraton atau peninggalan leluhur diarak keliling kota dengan iringan doa-doa dan lantunan kidung Jawa.
Prosesi ini bukan sekadar pameran benda kuno, melainkan wujud penghormatan terhadap sejarah, nilai-nilai luhur, dan upaya untuk melestarikan warisan budaya.
Masyarakat berjejer di sepanjang jalan untuk menyaksikan kirab, berharap mendapatkan berkah dari energi positif yang terpancar dari pusaka-pusaka tersebut.
Keunikan lain yang sering ditemui adalah tradisi ‘Mubeng Beteng’ atau mengelilingi benteng keraton tanpa alas kaki, seperti yang masih dilestarikan di beberapa tempat yang memiliki peninggalan keraton.
Tradisi ini melambangkan kesederhanaan, kerendahan hati, dan pengingat akan siklus kehidupan yang terus berputar.
Namun, di balik beragamnya ritual dan tradisi, esensi 1 Suro tetaplah sama: sebuah momen untuk refleksi diri dan introspeksi.
Masyarakat Jawa meyakini bahwa malam 1 Suro adalah waktu yang tepat untuk melakukan perenungan, mengevaluasi diri setahun ke belakang, dan merencanakan langkah ke depan dengan lebih bijaksana.
Keheningan dan kesunyian yang menyelimuti malam ini dianggap ideal untuk terhubung dengan diri sendiri dan kekuatan spiritual.
Bagi para wisatawan dan peneliti budaya, perayaan 1 Suro di Jawa Timur menawarkan pengalaman yang tak terlupakan.
Ini adalah kesempatan emas untuk menyelami kekayaan filosofi Jawa, menyaksikan langsung tradisi yang dijaga turun-temurun, dan merasakan aura spiritual yang begitu kental. Fenomena ini sekaligus menjadi daya tarik budaya yang patut dilestarikan dan diperkenalkan kepada dunia.
Meski zaman terus berubah, semangat 1 Suro di Jawa Timur tetap menyala, menjadi penanda identitas budaya yang kuat, dan pengingat akan pentingnya menjaga keseimbangan antara dunia materi dan spiritual. Sebuah perayaan yang tak hanya memanjakan mata, tetapi juga menyejukkan jiwa.