LINTASJATIM.com, Tulungagung – Adanya pasal-pasal Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau besutan Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendapat sorotan dari beberapa pihak.
Salah satunya, Akademisi Fisipol Universitas Negeri Surabaya, Dr. Firre An Suprapto yang menilai regulasi tersebut tak melibatkan para pihak terdampak. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sedang menyusun Rancangan Peraturan Kesehatan (R-Permenkes) sebagai peraturan pelaksana Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024.
Dr Firre An Suprapto menerangkan penyusunan itu dinilai adanya muatan intervensi asing, mendorong implementasi kemasan rokok tanpa identitas merek di Indonesia.
“Kemenkes harus lebih aktif memberikan sosialisasi yang melibatkan para pihak yang terkena dampak atas kebijakan tersebut. Termasuk di Rancangan Permenkes sehingga tidak menimbulkan polemik baru,” kata Dr Firre An Suprapto dalam keterangannya, Sabtu (29/3/2025).
Tak hanya itu, Firre juga menyoroti Kemenkes tidak bisa serta-merta mengadopsi FCTC dalam penyusunan regulasi di Indonesia. Pun lebih jauh Indonesia tidak meratifikasi perjanjian tersebut.
Sebab, kementerian terkait sebagai inisiator penerapan peraturan harus berkaca bahwa Indonesia belum meratifikasi FCTC. Alhasil, tidak bisa digunakan landasan hukum serta perlu dilihat dari berbagai sisi.
“Perlindungan kesehatan juga bisa menjadi mempertimbangkan sisi ekonomi, sosial dan lainnya,” tambahnya.
Akademisi yang juga Sekjen Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI) ini juga menerangkan implementasi regulasi apapun, pun turunan PP No. 28 Tahun 2024 agar sejalan dengan amanat Undang-undang No. 25 Tahun 2004.
“Selain itu juga Perda bagian dari sistem peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum sejalan diatur dalam kaidah penyusunan Perda,” ulasnya.
Sementara, Wakil Ketua Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (AKRINDO) Anang Zunaedi menggarisbawahi di tengah kondisi perlambatan ekonomi saat ini, justru semakin kencang dorongan untuk mengimplementasikan regulasi.
Pasalnya, pro kontra tersebut bisa menyulitkan masyarakat, seperti halnya larangan jualan rokok dengan jarak 200 meter dari wilayah Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
“Kami sejak awal menolak tegas PP Kesehatan dan aturan teknisnya dalam Rancangan Permenkes memberatkan membatasi gerak pedagang. Pemerintah tolong lah lihat realita di masyarakat,” kata Anang Zunaedi.
Dirinya menyoroti saat ini pedagang kecil, semua peraturan ini memberatkan sekali. Bukan hanya perihal kehilangan pendapatan, akan tetapi juga bisa sebagai ancaman tutup usaha, ekonomi keluarga dan masyarakat hancur.
AKRINDO juga menyayangkan Kemenkes seperti menjadi lembaga superbodi, yang overlap mengurusi sampai ranah ekonomi dan perdagangan. Pun kebijakan pengendalian tembakau yang sarat intervensi asing bisa menurunkan kesejahteraan masyarakat Indonesia
“Harusnya ditinjau ulang. Stop pembahasan aturan yang memberatkan masyarakat. Peraturan di atasnya saja masih bermasalah (PP 28/2024). Bukan stuck lagi, namun perlambatan ekonomi nyata terjadi,” pungkasnya. (mad)