LINTASJATIM.com, Tulungagung – Sastawan asal Tulungagung ini menorehkan tinta emas, dengan meraih penghargaan dari Balai Bahasa Kemendikbud Ristek Kategori Pengarang berkarya lebih dari 40 tahun di 2024.
Ia adalah Sunarko Sodrun Budiman. Lelaki asal Dusun Surenpaten, Desa Balerejo Kecamatan Kauman Kabupaten Tulungagung. Ia mengiyakan untuk bisa bertemu di rumahnya, berbekal maps yang diberikan oleh salah satu jurnalis langsung menuju Bale Surenpaten. Cukup mudah, lantaran hanya beberapa ratus meter dari Jalan Raya Tulungagung-Trenggalek tepat di depan Pengadilan Agama (PA) Tulungagung ada gang masuk.
Sunarko Sodrun Budiman nama lengkapnya, menemui penulis dengan sambutan hangat. Layaknya sahabat yang sudah kenal lama. Obrolan gayeng usai penulis perkenalkan diri dari jurnalis.
Perbincangan pun dilanjutkan agar tidak mengulang kembali mencoba langsung merekam jejak awal pria Alumnus Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Tulungagung pada tahun 1970an ini.
“Mulai menulis sejak saya masih sekolah di Sekolah Pendidikan Guru Negeri Tulungagung tahun 1978 itu dimuat di (Majalah) Joyoboyo pertama. Tahun 1980 saya menulis fiksi untuk anak-anak, berbahasa Indonesia dan diterbitkan di buku. Lalu menekuni Bahasa Jawa 1982,” terang Sunarko Sondrun, Selasa (13/08/2024).
Pada tahun itu, dirinya masuk Sanggar Sastra Triwida. Menulis cerita remaja yang berjudul ‘Wah Jan Sodrun’ hingga mendapat apresiasi dari TVRI Surabaya. Pasalnya tulisan tersebut memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri dalam mengibaratkan sosok artis pada zamannya.
Nama pena Narko Sodrun berangkat dari awal antologi cerita cekak (Cerkak) atau cerpen dalam Bahasa Jawa. Sodrun sendiri menurutnya adalah tataran orang diatasnya gila.
“Itu tidak seperti biasanya dalam dalam ranah bahasa Jawa, itu dibahas oleh pak Muhammad Ali ketika itu dan juga jadi TVRI Surabaya. Setelah itu nama saya kondang jadi sodrun itu makanya saya gunakan ikon narko sodron. Sodrun itu diatasnya gila, hehehe. Kalau bahasa arab itu ‘as-sadr’ yang berarti lapang dada,” selorohnya.
Siapa sangka, pensiunan guru ini dahulu selain menulis cerpen juga sempat menjadi wartawan Penyebar Semangat, Joyoboyo Mekar Sari Jogjakarta. Hingga akhirnya setelah beberapa tahun, ada peraturan bawa PNS tidak diperbolehkan merangkap sebagai wartawan membuatnya fokus mengajar.
Ia mengaku jumlah karya selama 46 tahun bersastra berbahasa jawa ada sekitar 160an yang sudah dimuat cetak. Belum lagi yang tidak dimuat, karena menulis selamanya tidak langsung dimuat. Berbeda dengan bahasa online langsung dikirim, tulis baca.
“Jika cetak sudah terseleksi 167an. Cerita saya baik cerkak, cerita remaja maupun misteri. Tapi kalau novel saya masih 4 dan an sekarang ini dimuat di majalah penyebar semangat itu yang Dadung Benang Sutra itu cerita sambung pasti jadi novel,” paparnya.
Dirinya menerangkan lebih jauh perihal pepatah ‘penulis yang baik adalah pembaca yang baik’ ia mengalami. Sebagai penulis dikatakan orang sebagai penulis karena awal suka membaca. Kalau tidak gemar membaca ibarat seperti orang mengisi kolam kamar mandi. Kalau kita sudah dalam kamar mandi penuh air, mau setiap saat ambil itu mudah.
Narko Sodrun mengibaratkan kembali seperti menulis pada gawai melalui Aplikasi WhatsApp, dimana setiap kata yang dimasukkan masuk dalam kamus. Sehingga saat membaca awal, pasti punya kata-kata yang secara otomatis tersimpan.
Oleh sebab itu, Dosen STKIP yang sekarang menjadi UBHI Tulungagung sejak 2000 ini mewanti-wanti jangan gengsi atau sungkan membaca karya orang lain. Sebab, di dalam karya orang lain pasti memiliki kelebihan hingga ciri khas yang bisa diterapkan maupun membuat perpaduan yang lebih berbeda.
Termasuk jika masuk redaksi, Narko Sodrun menambahkan bahwa harus mengecek atau mereview hasil koreksi tulisan yang telah diedit oleh editor. Sehingga sebagai penulis bisa menelaah kesalahan yang harus dibenarkan untuk kemajuan kedepan.
“Oh ternyata ada, kenapa ya? Itu review kita sendiri. Lalu, jika penulis tidak mau membaca, ya itu kosong, kering. Dia akan kering sebagai penulis yang rog-rog asem atau istilahnya hangat hangat tai ayam. Jadi hanya sekadar satu ide, dimuat selesai,” jelasnya.
Dirinya pernah mendapat penghargaan Sastra Rancage yang pernah ia sabet pada 2009 silam. Apresiasi tersebut dari Yayasan Rancage karena intens dalam pemertahanan sastra daerah. Penghargaan kedua kalinya dari Yayasan Rancage pada Januari 2023. Penghargaan tersebut karena telah mempertahankan kreativitasnya dalam mengembangkan Bahasa dan Sastra Jawa melalui buku yang berjudul ‘Suro Agul-agul’.
“Penghargaan itu berangkat dari Antologi Cerkak berjudul ‘Suro Agul-agul yang diterimakan di Bali Oktober 2023,” ujarnya.
Terbaru, ia sangat bersyukur karena pada tahun 2024 ini selian perseorangan mendapatkan penghargaan berkarya selama 40 tahun, juga sanggar sastra yang pernah ia ketuai mendapat penghargaan berupa bantuan pemerintah.
Saat ini beliau sebagai Pembina di Sanggar Sastra Triwida yang memiliki anggota puluhan yang tersebar di 12 kota/kabupaten di Jawa Timur. Sedangkan di Tulungagung sekitar belasan masih getol untuk mempertahankan Sastra Jawa baik bagi kalangan anak-anak, guru sekolah maupun masyarakat secara umum.
Disinggung beberapa berkas yang harus dikirimkan, ia mengaku masih menyimpan secara rapi baik piagam penghargaan hingga seluruh karya yang telah terbit di media cetak kala itu.
“Alhamdulillah dokumen saya masih tertata rapi, kan sering saya suka kliping. Zaman dahulu 1978 sampai 1980 belum ada fotocopy,” ulasnya.
Ia dengan telaten mengguntingi dan menempelkan di map, sehingga berbuah hasil keuntungan dari arsip mendokumentasikan tersebut sebagai arsip berharga. Karyanya yang berceceran tak luput ada yang hilang, hingga membuat Narko Sodrun meminta ke beberapa teman dan anggota Sanggar Sastra Triwida.
“Kalau tidak kita akan kehilangan karya kehilangan data sementara di redaksi tidak mungkin menyimpan sehingga kami sendiri contohnya saya. Tahun 1978 saya sudah juara piagamnya masih saya simpan, nah tahun 1980 saya juara mengarang mewakili IKIP PGRI Tulungagung Porseni mahasiswa di Jawa Timur,” kenangnya.
Pria yang juga Pengawas Sekolah Kecamatan Kauman telah pensiun pada 2020 ini mengatakan tindak lanjut penghargaan ini sesuai informasi awal akan diundang di Kemendikbud Ristek pada akhir bulan Juni 2024. Selain pendampingan bagi sanggar sastra, penandatanganan serta penyerahan penghargaan.
Total ada 11 perseorangan yang menerima pengarang diantaranya D. Zawawi Imron (Sumenep), J.F.X. Hoeri (Bojonegoro), Ismoe Rianto (Madiun)Suharmono Kasiyun (Sidoarjo), Hendro Siswanggono (Sidoarjo) untuk berkarya lebih dari 50 tahun.
Selanjutnya, M Shoim Anwar (Surabaya), Zoya Herawati (Surabaya), Tengsoe Tjahjono (Malang). Lalu, Sunarko Budiman (Tulungagung), Syaiful Anwar/Syaf Anton (Sumenep) serta M Amir Tohar/Aming Aminoedhin (Mojokerto) untuk berkarya lebih dari 40 tahun.
Sedangkan untuk Komunitas sastra yang mendapat bantuan fasilitasi: Komunitas Kampoeng Jerami (Sumenep), Sivitas Kotheka (Pamekasan), Pelangi Sastra Malang (Malang). Lalu, Dbuku Bakti Bangsa (Magetan), Yayasan Mataseger (Gresik), Komunitas Seni dan Budaya 3A (Bondowoso), dan Sanggar Sastra Triwida (Tulungagung). (mad)
Foto : Sunarko Sodrun menunjukkan hasil karyanya selama 40 tahun. (mad)
Foto : Sunarko Sodrun menunjukkan penghargaan dari Yayasan Rancage. (mad)