Menteri LH Tegas: Semua Kota Masih Kotor, Target Sampah Dimajukan 2029

Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Dr. Hanif Faisol Nurofiq. Sumber foto: surabaya.kompas.com
Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Dr. Hanif Faisol Nurofiq. Sumber foto: surabaya.kompas.com

LINTASJATIM.com, Malang – Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq menegaskan sikap keras pemerintah dalam perang melawan sampah plastik.

Dikutip dari Kompas.com, target penyelesaian masalah sampah nasional yang semula ditetapkan 2030 kini dipercepat menjadi 2029, sesuai amanat Perpres Nomor 12 Tahun 2025 tentang RPJMN.

Bacaan Lainnya

“Presiden meminta penyelesaiannya 2029, sehingga rencana harus lebih kuat dan terukur,” ujar Hanif, Senin (18/8/2025).

Hanif mengaku kecewa dengan kondisi pengelolaan sampah di daerah. Dalam penilaian terbaru, tak ada satu pun kota yang berhasil keluar dari kategori kota kotor.

“Sampai hari ini, seluruh kabupaten/kota nilainya di bawah 75. Bahkan hampir semuanya di bawah 50. Artinya, semua masih kotor,” tegasnya.

Karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup sudah menjatuhkan sanksi administratif kepada hampir seluruh pemerintah daerah yang dianggap gagal mengelola sampah.

Meski perundingan internasional soal perjanjian plastik (Plastic Treaty) di Jenewa berakhir buntu, Indonesia memilih jalan sendiri.

“Kita tidak menunggu. Batasan penggunaan plastik tetap diterapkan, terutama plastik sekali pakai dan yang mengandung B3,” jelas Hanif.

Ia menambahkan, tanggung jawab pengelolaan sampah tak hanya di pundak pemerintah daerah. Produsen juga wajib ikut bertanggung jawab melalui skema Extended Producer Responsibility (EPR). Skema ini, yang sebelumnya bersifat sukarela, kini akan ditingkatkan menjadi kewajiban.

“Penanggung jawab sampah ada tiga: produsen, rumah tangga, dan kawasan. Produsen kita sentuh lewat EPR,” katanya.

Selain kebijakan regulasi, pemerintah juga mendorong solusi teknologi. Dua metode utama yang dipilih adalah Refuse-Derived Fuel (RDF) untuk wilayah dengan volume sampah menengah, serta Waste to Energy (WTE) yang disiapkan bagi kota dengan timbulan sampah lebih dari 1.000 ton per hari.

“RDF lebih logis karena bisa memberi keuntungan ekonomi, sementara WTE itu seperti operasi sesar—hanya untuk kondisi darurat,” terang Hanif.

Sebagai langkah awal, verifikasi kesiapan proyek WTE akan dimulai di kawasan Malang Raya. Hanif menegaskan, langkah ini harus ditempuh demi menghindari bencana lingkungan akibat ledakan sampah seperti yang pernah terjadi di Bantar Gebang.

“Komitmen kita jelas, 2029 Indonesia harus lebih bersih dari sampah plastik. Tidak ada alasan untuk menunda lagi,” pungkasnya.

Pos terkait