Pakar UM Surabaya: Tragedi Ponpes Al Khoziny Buka Peluang Jerat Hukum Pidana dan Perdata

Kondisi terkini dari Musholla yang ambruk di Ponpes Al Khoziny Sidoarjo. Sumber foto: www.detik.com
Kondisi terkini dari Musholla yang ambruk di Ponpes Al Khoziny Sidoarjo. Sumber foto: www.detik.com

LINTASJATIM.com, Surabaya – Tragedi ambruknya musala Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Sidoarjo kini tidak hanya menjadi persoalan kemanusiaan, tetapi juga berpotensi berlanjut ke ranah hukum.

Dikutip dari detikJatim.com, Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Satria Unggul Wicaksana, menilai peristiwa ini dapat memunculkan konsekuensi hukum serius, baik pidana maupun perdata, tergantung hasil penyelidikan dan temuan teknis di lapangan.

Bacaan Lainnya

“Pihak yang paling mungkin dimintai pertanggungjawaban meliputi pimpinan atau pemilik pesantren, kontraktor, serta konsultan perencana dan pengawas,” ujar Satria, Minggu (12/10/2025).

Menurutnya, pimpinan pondok sebagai penggagas pembangunan memegang peran utama dalam memastikan legalitas dan kelayakan bangunan. Bila pembangunan dilakukan tanpa izin seperti IMB atau PBG, serta mengabaikan standar keselamatan, maka hal itu bisa dianggap sebagai kelalaian hukum.

Satria juga menyoroti peran pelaksana konstruksi yang dapat dimintai tanggung jawab apabila ditemukan kesalahan teknis atau penggunaan material di bawah standar. Sementara itu, konsultan perencana dan pengawas tidak lepas dari jeratan hukum jika terbukti lalai dalam pengawasan mutu pekerjaan.

“Unsur pidana muncul bila kelalaian konstruksi menyebabkan korban jiwa atau luka-luka. Kasus seperti ini termasuk delik umum, artinya polisi bisa langsung menyelidiki tanpa harus menunggu laporan,” jelasnya.

Lebih lanjut, Satria menyebut beberapa pasal yang bisa digunakan penyidik antara lain Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian dan Pasal 360 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan luka berat atau ringan.

Selain itu, UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, khususnya Pasal 46 ayat 3 dan Pasal 47 ayat 2, juga mengatur pelanggaran terhadap persyaratan teknis bangunan.

Dari sisi perdata, keluarga korban juga memiliki hak untuk menggugat pihak yang diduga lalai melalui Pasal 1365 KUHPerdata tentang Perbuatan Melawan Hukum (PMH).

“Ganti rugi dapat meliputi kerugian materiil seperti biaya pengobatan dan pemakaman, serta kerugian immateriil berupa penderitaan mental,” tambahnya.

Satria menegaskan, aparat penegak hukum harus melibatkan tim ahli teknik sipil dan konstruksi dalam proses penyelidikan untuk memastikan penyebab pasti ambruknya bangunan.

Pemeriksaan menyeluruh terhadap izin pembangunan dan mekanisme pengawasan proyek menjadi kunci untuk menentukan pihak yang bertanggung jawab.

“Kegagalan bangunan bukan sekadar persoalan teknis, melainkan juga tanggung jawab moral dan hukum. Keselamatan publik harus menjadi prioritas utama agar tragedi serupa tidak terulang,” pungkasnya.

Pos terkait