LINTASJATIM.com, Sidoarjo – Di tengah luka dan kehilangan, semangat seorang santri bernama Syaiful Rosi Abdillah (13) justru semakin menyala.
Meski kaki kanannya harus diamputasi akibat tertimpa reruntuhan musala Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Khoziny, Sidoarjo, Rosi tetap bertekad melanjutkan pendidikan di tempat yang telah ia anggap sebagai rumah keduanya.
“Kalau sembuh, saya ingin mondok di Al-Khoziny lagi. Di sana sudah dua tahun, sudah punya teman. Kalau pindah ke tempat lain, takut dibully,” ujar Rosi dikutip dari detikJatim.com, Sabtu (11/10/2025).
Rosi merupakan anak pertama pasangan Idrus (43) dan Khoirawati (43). Saat musala ambruk, Rosi tengah melaksanakan salat berjemaah. Ia sempat berusaha menyelamatkan diri, namun tubuhnya tertimpa kayu dan reruntuhan bangunan.
“Sudah rukuk, terus berdiri. Sempat lari, tapi jatuh, terus ketimpa. Awalnya yang jatuh cuma kayu sama batu-batu kecil, saya pikir biasa saja,” kenangnya.
Dalam kondisi terjepit reruntuhan, Rosi berjuang keras menahan rasa sakit dan tetap sadar hingga akhirnya ditemukan tim SAR.
“Saya nggak bisa gerak, nggak bisa minum. Kaki kejepit. Teman saya dievakuasi duluan, lalu tim SAR masuk lagi dan tahu kaki saya terjepit,” tuturnya.
Akibat luka parah di bagian telapak kaki kanan, dokter memutuskan melakukan amputasi untuk menyelamatkan nyawanya.
“Sebelum dipotong saya sempat kejang. Tapi saya nggak marah, ini musibah,” katanya lirih.
Sang ayah, Idrus, menerima ujian tersebut dengan penuh keikhlasan. Ia menegaskan tidak akan menuntut pihak pesantren atas peristiwa tersebut.
“Saya serahkan semua ke anak saya. Kalau dia mau tetap mondok di situ, saya dukung. Ini musibah, bukan rekayasa,” ujarnya tegas.
Idrus juga berharap lingkungan sekitar dapat memberi dukungan moral bagi anaknya agar tidak menjadi korban perundungan.
“Yang penting anak saya nanti nggak dibully. Itu saja,” katanya.
Kini, Rosi tengah menjalani masa pemulihan pascaoperasi. Pemerintah melalui Kementerian Sosial telah menyatakan komitmennya memberikan pendampingan penuh, mulai dari rehabilitasi medis dan sosial, bantuan pendidikan, hingga jaminan kesehatan bagi Rosi.
Kisah Rosi menjadi pengingat bahwa semangat belajar dan keikhlasan bisa tumbuh bahkan di tengah derita. Kakinya mungkin telah hilang, namun langkah tekadnya untuk menuntut ilmu di pesantren tidak akan pernah terhenti.






