KMP Tunu Jadi Sorotan DPR: Laut Butuh Regulasi Seperti Udara

Rapat Komisi V DPR RI terkait kecelakaan KMP Tunu Pratama Jaya. Sumber foto: www.detik.com
Rapat Komisi V DPR RI terkait kecelakaan KMP Tunu Pratama Jaya. Sumber foto: www.detik.com

LINTASJATIM.com, Banyuwangi – Kecelakaan kapal motor penyeberangan (KMP) Tunu Pratama Jaya menuai kritik tajam dari Komisi V DPR RI yang menyebut insiden tersebut sebagai sinyal darurat atas lemahnya pengawasan transportasi laut.

Dikutip dari detikJatim.com, rapat terbatas yang digelar di kantor ASDP Ketapang, Selasa (22/7/2025), DPR menyoroti minimnya kontrol teknis dan administratif terhadap kapal-kapal penyeberangan.

Bacaan Lainnya

“Ini darurat kecelakaan! Harusnya bisa belajar dari dunia penerbangan dan transportasi lainnya. Kejadiannya tidak cuma di sini, sekarang juga di Sulawesi. Ini tidak bisa dianggap biasa,” kata Hamka Baco Hady, anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi Golkar.

Hamka menyesalkan sikap Kementerian Perhubungan yang dinilai lepas tangan atas kecelakaan tersebut. Ia menilai, kelengkapan dokumen kapal seharusnya diperiksa sebelum izin berlayar diberikan.

“Saya mau tanya, peraturan menteri yang mana yang membenarkan tidak ada pemeriksaan dokumen sebelum kapal diberi izin jalan?” ujar Hamka forum tersebut.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa keselamatan pelayaran adalah tanggung jawab penuh Kementerian Perhubungan. Ia bahkan sempat melakukan inspeksi mendadak ke salah satu kapal di Pelabuhan Ketapang dan mendapati fakta mengejutkan.

“Kondisinya overload dan tidak layak jalan, tapi tetap bisa berlayar. Ini sama saja dengan membiarkan bahaya,” ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa seperti di darat, laut juga membutuhkan penegakan aturan Over Dimension Over Load (ODOL).

Menanggapi hal itu, Dirjen Perhubungan Laut, Hendri Ginting, menyatakan bahwa pihaknya hanya mengacu pada pernyataan dari nahkoda kapal terkait kelayakan dokumen.

“Jika nahkoda menyatakan kapal laik laut dan semua dokumen lengkap, maka kami izinkan berlayar. Kami tidak diwajibkan memeriksa dokumen secara langsung,” jelas Hendri.

Ia juga menambahkan bahwa pelayaran hanya bisa dihentikan atas dasar kondisi cuaca ekstrem atau keputusan hukum.

“Itu dua alasan sah untuk menghentikan pelayaran,” tegasnya.

Saat ini, Pelabuhan Ketapang-Gilimanuk melayani hampir 300 aktivitas penyeberangan setiap hari dengan 28 kapal yang beroperasi. Tingginya intensitas ini menambah urgensi terhadap sistem pengawasan yang lebih ketat demi mencegah kecelakaan serupa terulang.

Dengan kasus KMP Tunu Pratama Jaya sebagai contoh nyata, DPR mendesak Kemenhub dan seluruh pemangku kepentingan untuk tidak lagi menunggu korban berikutnya sebelum bertindak lebih tegas.

Pos terkait