Antropolog Amerika Teliti Tuyul di Mojokuto Pare, Dosen Kediri Setuju Riset Tersebut

ilustrasi tuyul
ilustrasi tuyul

LINTASJATIM.com, KediriAntropolog asal Amerika Serikat (AS) Clifford Geertz pernah meneliti Tuyul terkait agama masyarakat di Jawa. Saat itu, ia menjelaskan, kepercayaan warga terkait tuyul di Mojokuto, yang ternyata merupakan wilayah Pare, Kabupaten Kediri.

Dosen Ilmu Sejarah Universitas Nusantara PGRI Kediri, Sigit Widyatmoko membenarkan penelitian tersebut. Ia membeberkan pendapatnya soal penelitian tuyul ini.

Bacaan Lainnya

Sebelumnya, kajian antropologi klasik itu tertuang dalam buku berjudul ‘Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa.’ Dilansir dari detikEdu, buku Agama Jawa itu lahir dilatarbelakangi enam orang calon PhD dari Harvard University yang dikirim ke Indonesia untuk meneliti berbagai aspek kehidupan masyarakat pada awal 1950-an. Clifford Geertz satu di antara 6 orang ilmuwan itu.

Dosen di Kediri, Sigit setuju dengan riset itu. Menurutnya, sistem feodal di Jawa itu memang mencerminkan toleransi yang sangat luar biasa. Kehidupan-kehidupan ekonomi, kehidupan sosial itu pasti dipengaruhi dengan stratifikasi sosial yang luar biasa.

“Penelitian itu erornya 5 persen, artinya pasti ada eror, tidak bisa absolut. Tapi Sigit percaya penelitian dari Cliffort, karena dia seorang Antropolog dan bahkan ia melakukan ‘doing field research’, maksudnya benar-benar ada di lapangan, ada di dalam subjek penelitian, bukan penelitian di perpustakan,” kata Sigit kepada detikJatim, Selasa (9/5/2023).

Selanjutnya, Sigit membenarkan Mojokuto dalam konteks sistem sosial masyarakat Jawa bahwa ada kepercayaan mistis tentang cara orang mendapatkan kekayaaan. Salah satunya tuyul.

Hal ini bisa dibuktikan di hampir setiap lapisan masyarakat Jawa, bahkan keturunan Jawa. Mulai dari wilayah Mataraman, lalu dari wilayah Jateng hingga Kediri.

“Sebagai warga Kediri dan dekat dengan wilayah Pare, Ini merupakan satu pendapat yang secara umum ada di masyarakat, tapi dibuktikannya sulit. Pandangan tuyul di masyarakat Jawa ini wajar,” beber Sigit.

“Tapi kalau dikaji secara ilmiah ini ada kesenjangan ekonomi itu. Bukan suatu hal yang mengagetkan, Pare, Mojokuto, dalam buku Cliffort merupakan replika itu tadi yang mulai dari rakyat jelata sampai bangsawan, hingga pendatang, menjadi bentuk toleransi kehidupan di Jawa. Bentuk kota di Jawa, komunitasnya seperti itu satu,” imbuhnya.

Sigit juga menyinggung, Mojokuto dulu menggambarkan toleransi yang tinggi di tengah lima agama yang ada di sana.

“Mojokuto menggambarkan begitu banyaknya kepercayaan mulai dari rakyat abangan sampai masyarakat Islam putihan. Lima agama kumpul jadi satu dan ada toleransi kehidupan luar biasa. Jangan diartikan Mojokuto itu Pare yang ada saat ini. Pare itu adalah satu sinonim dari Mojokuto wilayah yang tersebar di sekitar Kawedanan yang menggambarkan kehidupan masyarakat feodal Jawa,” pungkas Sigit.

Pos terkait