Seni yang Dibungkam: G30S dan Bencana Kebudayaan yang Tak Terhitung

Peristiwa G30S PKI. Sumber foto: manado.tribunnews.com
Peristiwa G30S PKI. Sumber foto: manado.tribunnews.com

LINTASJATIM.com – Gerakan 30 September 1965 (G30S) dikenang sebagai tragedi politik dan militer, namun dampak paling sunyi terasa di ranah budaya. Jauh sebelum peristiwa berdarah itu, gerakan ideologi telah merasuki dunia seni rupa, sastra, dan teater.

Organisasi seperti Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) menjadi rumah bagi ribuan seniman yang terpesona oleh konsep ‘seni untuk rakyat,’ tanpa sepenuhnya terlibat dalam doktrin politik kaku.

Hilangnya Wajah dari Kanvas Sejarah

Pasca-G30S, terjadi pembersihan yang masif terhadap seniman yang berafiliasi atau dicap simpati pada Lekra. Mereka yang sebelumnya dielu-elukan karena karya-karya realis populis, tiba-tiba dicabut dari panggung. Karya-karya mereka dilarang, tidak dipamerkan, dan dalam banyak kasus, dihancurkan.

Hilangnya nama-nama besar seniman Lekra pasca-1965 bukan sekadar kerugian politik, melainkan sebuah bencana kebudayaan yang meninggalkan kekosongan panjang dalam periodisasi seni Indonesia modern.

Selama puluhan tahun, studi kesenian terpaksa mengabaikan periode kaya raya ini, seolah kreativitas era tersebut tidak pernah ada.

Generasi penerus kini baru mulai mencoba merekonstruksi sejarah seni yang hilang, menemukan kembali sketsa, naskah drama, dan puisi yang tersembunyi, yang menjadi saksi bisu pembungkaman tersebut.

Warisan Ketakutan di Meja Makan Keluarga

Dampak sunyi lainnya terasa di ranah personal. Peristiwa 1965 menciptakan trauma turunan (Intergenerational trauma) bagi keturunan mereka yang dicap eks-tapol (tahanan politik).

Anak-cucu menghadapi stigma sosial dan diskriminasi dalam pendidikan maupun pekerjaan, bukan karena kesalahan mereka sendiri, tetapi karena riwayat keluarga.

Sebagai mekanisme pertahanan diri, banyak keluarga memilih untuk membungkam masa lalu. Cerita tentang kakek atau ayah tiba-tiba menjadi bagian yang hilang dari silsilah, menciptakan sebuah ‘lubang hitam’ dalam memori kolektif keluarga. Anak-cucu tumbuh dengan rasa bersalah yang tidak terjelaskan dan pertanyaan yang tak terjawab.

Saat ini, banyak generasi muda berusaha keras mengisi kekosongan tersebut. Proses pencarian identitas ini adalah perjuangan yang menyakitkan, melampaui perdebatan akademik tentang siapa dalang G30S.

Itu adalah upaya untuk menemukan kembali kebenaran personal dan memulihkan martabat keluarga yang terkikis oleh ketakutan dan pembungkaman sejarah Orde Baru.

Kisah-kisah ini menegaskan bahwa tragedi G30S/PKI meninggalkan warisan yang jauh lebih dalam dari yang tercatat, menyentuh inti kemanusiaan dan memutus rantai budaya serta memori personal.

Pos terkait