Lintasjatim.com, Jakarta – Protes mahasiswa kepada universitas perlahan bermunculan di tengah pandemi virus korona. Sejak wabah COVID-19 di Indonesia semakin serius, kampus mulai menyetop kelas tatap muka dan memindahkannya menjadi kuliah online.
Masalahnya kuliah daring membutuhkan penyesuaian diri yang tak mudah bagi pengajar maupun mahasiswa. Belum lagi bimbingan skripsi hingga sidang yang pelik. Lantas ada masalah baru karena semua proses online itu memakai aplikasi video meeting yang rakus kuota Internet.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebelumnya sudah mengimbau agar lembaga pendidikan memberi bantuan sarana pembelajaran daring bagi mahasiswa. Sejumlah operator seluler juga bekerja sama dengan lembaga pendidikan guna membantu pembelajaran jarak jauh mahasiswa.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Prof Nizam meminta kampus untuk memberikan bantuan pulsa mahasiswa serta dosen selama belajar online berlangsung.
“Kami meminta perguruan tinggi agar dapat memantau dan membantu kelancaran mahasiswa dalam melakukan pembelajaran daring. Penghematan biaya operasional penyelenggaraan pendidikan yang diperoleh selama dilakukan pembelajaran dari rumah, diharapkan dapat digunakan untuk membantu mahasiswa dan dosen, seperti subsidi pulsa koneksi pembelajaran daring, bantuan logistik, dan kesehatan bagi yang membutuhkan,” ujar Nizam pada Senin(6/4).
Pada pertengahan Maret lalu memang ramai terdengar berbagai kampus memberikan bantuan kuota. Ada juga kerja sama dengan sejumlah operator seluler. Namun pada prakteknya bantuan-bantuan ini tak berjalan mulus.
Memasuki April, gelombang protes karena ketidakpuasan soal kuliah online ini bermunculan. Tak sedikit mahasiswa merasa bingung dan mempertanyakan fasilitas serta bantuan yang diberikan, karena mereka merasa biaya kuliah ‘online’ jauh lebih mahal ketimbang offline (hadir di kampus).
Mereka terbebani dengan tanggung jawab harus kuliah online dengan bermodalkan internet (kuota) serta juga dituntut untuk tetap membayar biaya UKT kampus.
Modal kuliah online lebih mahal dari pada kuliah offline.
— Dwi Agustina (@deiww_) April 30, 2020
Kudu keluar biaya kuota, belum lagi biaya ngeprint mahal banget (buat yg tempat nya kampung kya tempat saya ini) Ni mahasiswa ga ada yang mau minta keringanan apa?? Mana sih yg katanya Badan Eksekutif Mahasiswa nya
Wkwk
Ada masalah dengan keterbatasan bantuan yang diberikan, terlalu berbelitnya akses Internet, hingga sinyal yang buruk di tempat tinggal mereka.
Gamarah gara2 gadikasi kuota karna udh ada vpn ub yg ngerubah 30gb paket ilmupedia jd kuota reguler ,tp tolong dong untuk UKT nya masa gaada bantuan sama sekali ini? 😭 #amarahBrawijaya pic.twitter.com/528IrOsmpy
— letusan mercon (@Chintyaagt) April 28, 2020
Protes mahasiswa ini didasari pemahaman mereka bahwa biaya operasional di kampus seperti listrik sebenarnya berkurang karena kuliah online. Seharusnya ini bisa dialihkan untuk fasilitas kuliah online atau bahkan pemotongan UKT.
Persoalan membayar uang kuliah ini lebih serius dan perlahan muncul ke permukaan. Tuntutan adanya keringanan UKT ini menurut sejumlah postingan di medis sosial didasari kesulitan orangtua mereka untuk membayar biaya kuliah, apalagi ada sejumlah mahasiswa yang sebenarnya bekerja buat membayar UKT.
Namun kampus-kampus seolah tutup mata dengan kondisi tekanan ekonomi di tengah wabah korona. Bahkan ada beberapa kampus yang sudah mengejar bayaran penuh untuk semester depan.
Ada juga kampus yang menaikkan UKT, terutama untuk mahasiswa baru. Seperti yang disoroti oleh mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip), mereka menyampaikan protes di media sosial terhadap kenaikan biaya UKT untuk mahasiswa baru angkatan 2020 yang telah ditetapkan melalui Surat Keputusan Rektor.
KENAIKAN UKT MAHASISWA BARU TAHUN AJARAN 2020/2021
— BEM UNDIP (@BEMUndip_) April 22, 2020
Halo Dips, selamat malam! Udah pada cek postingan terbaru dari BEM UNDIP belum? Kalo belum, nih coba deh dibaca dulu pelan-pelan.#UndipKokJahatSih#UndipNaikUKTLagi pic.twitter.com/BMiQpBc2i4
Dalam protesnya, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Undip mendesak, “Menunda dan meninjau kembali kenaikan UKT bagi mahasiswa pada 2020 dengan menimbang kondisi Indonesia saat ini sedang menghadapi Covid-19,”
Curhat dari mahasiswa Undip terkait tuntutan keringanan biaya UKT ini bukanlah yang pertama, seorang warganet juga membagikan kisahnya di media sosial.
Ia mengatakan biaya kuliah anaknya justru naik sebesar Rp 7,5 juta normal, dengan alasan sebagai biaya belajar jarak jauh. Warganet tersebut kemudian bingung sebab biaya internet dan fasilitas kampus menjadi dibebankan kepada mahasiswa universitas itu.
Keluhan Mahasiswa Tumpah di Medsos. Tagar Protes Pun Rajai Trending Topic
Gelombang protes terhadap fasilitas Internet (kuota) dan Keringanan UKT tersebut semakin ramai dibahas di media sosial, tak jarang topik itu menjadi begitu hangat di antara warganet. Protes terhadap kampus ini kemudian viral, sejumlah tagar berbau kritik itu juga sering masuk dalam jajaran trending topics Indonesia.
Seperti beberapa waktu lalu muncul #amarahBrawijaya, tagar itu merupakan bentuk protes mahasiswa Brawijaya karena hingga saat ini pihak universitas belum memberikan kompensasi atau subsidi Uang Kuliah Tunggal (UKT) serta kejelasan penggunaan kuota internet gratis selama pandemi korona.
Dalam protesnya mahasiswa UB sapaan akrabnya, menggungah sebuah video pendek berdurasi 14 detik dengan berisikan keterangan kritik terhadap kampus. Protes ini disuarakan pertama kali oleh akun @amarahBrawijaya dan memperoleh 1000 retweets serta 1, 700 likes. Bahkan videonya sendiri telah diputar sebanyak 72 ribu kali di Twitter.
Adajuga #UnandJanganPelit, tagar tersebut sebagai bentuk protes mahasiswa Universitas Andalas (Unand) keluhan ini dipicu bahwa bantuan kuliah daring hanya untuk mahasiswa program Bidik Misi dan Level1, padahal kini banyak mahasiswa di luar kategori itu yang merasa kesulitan untuk membayar biaya kuliah serta memenuhi kebutuhan kuota internet untuk perkuliahan online.
Puncak protes terhadap kuliah online ini ialah #KemenagJagoPHP, tagar itu muncul usai beredarnya surat oleh Kementerian Agama RI mengenai pembatalan potongan UKT kepada mahasiswa Pendidikan Tinggi Keagaman Islam Negeri (PTKIN).
Tagar itu menjadi bentuk protes sekaligus ungkapan kecewa mahasiswa terhadap sikap Kemenag yang dianggap telah memberikan harapan palsu.
Perlu diketahui, Direktorat Perguruan Tinggi Kemenag mengeluarkan surat edaran pada 8 April lalu, mereka menyarankan adanya pengurangan UKT untuk mahasiswa PTKIN guna membantu mengatasi krisis ekonomi masyarakat di tengah pandemi korona.
Akan tetapi pada 20 April lalu, Kemenag kembali mengeluarkan surat yang berisikan adanya potongan anggaran yang diterima kementerian sebesar Rp 2.020.000.000.000.
Kemenag menyebutkan bahwa pengurangan anggaran itu akan menyebabkan terbatasnya anggaran operasional dan penyelenggaraan PTKIN, maka Direktorat Jenderal Pendidikan Islam menginstruksikan kepada Pimpinan PTKIN untuk tetap menerapkan kebijakan dan ketentuan UKT seperti biasanya, atau tidak akan ada keringanan.
Protes Berujung Petisi
Gelombang protes tersebut tidak hanya disuarakan mahasiswa lewat media sosial dan tagar, melainkan mereka juga membuat petisi. Sejumlah petisi mulai bermunculan, selain meminta penghapusan skripsi di tengah pandemi ini, mahasiswa juga meminta adanya potongan atau keringanan terhadap biaya UKT kampus.
Petisi itu muncul di situs change.org dengan berbagai judul, salah satu petisi yang hampir rampung ialah “Kemendikbud_RI: Karna COVID19, Bebaskan Biaya Kuliah & Tugas Akhir Mahasiswa Semester Akhir” petisi itu menjelaskan bahwa proses penyelesaian skripsi karena korona, maka akan berdampak pada besarnya biaya kuliah yang harus ditunaikan para mahasiswa.
Petisi tersebut digagas oleh Fachrul Adam. Ia menyoroti biaya kuliah (UKT) untuk semester tiga ke atas karena selama pandemi mahasiswa menjalani kuliah online dan tidak menggunakan fasilitas kampus.
Selain itu, muncul juga sebuah petisi yang telah ditandatangani oleh 935 dari target 5000 tandatangan. Petisi tersebut merupakan lanjutan dari kasus Kemenag dan PTKIN mengenai pembatalan pengurangan UKT. Petisi itu merupakan aksi penolakan terhadap pembatalan pengurangan UKT PTKIN.
Dalam protesnya mahasiswa mengatakan sudah hampir dua bulan menjalani kuliah online dan tidak merasakan fasilitas belajar di kampus, tetapi pihak kampus tetap membebankan biaya kampus kepada mahasiswanya. Petisi ini digagas oleh Fachrul Roji.
Lantas apa tanggapan pihak kampus dan pemerintah terhadap gelombang protes mahasiswa, khususnya soal masalah biaya kuliah? Sejauh ini belum ada kampus yang menyatakan rencana pemotongan uang kuliah ataupun kebijakan khusus dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Bagaimana pendapatmu? Apakah kamu juga termasuk yang kesulitan memenuhi biaya kuliah online dan membayar biaya kuliah?
Source: https://today.line.me/ID/article/XwoxRw?utm_source=copyshare