Polemik Sound Horeg Kian Marak, Pemprov Jatim Siapkan Aturan Tegas Demi Ketertiban Sosial

Contoh gambar sound horeg. Sumber foto: www.blok-a.com
Contoh gambar sound horeg. Sumber foto: www.blok-a.com

LINTASJATIM.com, Surabaya – Di tengah meningkatnya aduan masyarakat terkait gangguan suara dari fenomena sound horeg, Pemerintah Provinsi Jawa Timur mulai mengambil langkah serius.

Wakil Gubernur Jatim, Emil Elestianto Dardak, menegaskan bahwa pihaknya sedang menyusun regulasi yang akan mengatur penggunaan sistem suara raksasa tersebut agar tidak menimbulkan konflik sosial lebih luas.

Bacaan Lainnya

“Sedang digodok, tidak didiamkan. Kita tunggu dari seluruh pihak yang terkait,” ujar Emil, Rabu (9/7/2025).

Sound horeg sendiri merujuk pada penggunaan perangkat audio berkekuatan tinggi yang menghasilkan suara dan getaran besar, kerap digunakan dalam pesta rakyat, karnaval, hingga pawai keliling.

Meskipun digemari oleh sebagian kalangan, terutama pemuda, kehadirannya juga banyak menuai keluhan karena dianggap mengganggu ketenangan lingkungan.

Menurut Emil, pembentukan aturan ini penting agar tidak terjadi gesekan antarwarga. Ia menilai, pemerintah tidak bisa membiarkan persoalan ini terus berkembang tanpa solusi.

“Karena ini apa yang menjadi masyarakat tentu tidak didiamkan,” tegas Emil.

Sikap tegas juga datang dari kalangan ulama. KH Muhibbul Aman Aly, Pengasuh Ponpes Besuk Pasuruan, dalam Forum Satu Muharram (FSM) Bahtsul Masail telah menyatakan bahwa penggunaan sound horeg dinyatakan haram.

Alasannya bukan hanya soal kebisingan, tetapi juga karena dampak sosial dan ketidaksesuaian dengan nilai-nilai ketertiban umum.

Keputusan itu mendapat dukungan dari MUI Jawa Timur. Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim, KH Ma’ruf Khozin, menyatakan bahwa fatwa tersebut sah secara fikih dan didasarkan pada pertimbangan keilmuan yang kredibel.

“Secara keputusan fikih, itu sudah tepat dan mempertimbangkan banyak aspek,” jelas Ma’ruf.

Ia juga menambahkan bahwa KH Muhibbul Aman Aly merupakan tokoh penting di jajaran Syuriyah PBNU, sehingga keputusannya dianggap valid oleh komunitas pesantren.

“Kapabilitas keilmuan beliau diakui, terutama di lingkungan pesantren,” imbuh Ma’ruf.

MUI Jatim sendiri sebelumnya telah mengeluarkan larangan serupa meskipun belum dalam bentuk fatwa. Salah satu kasusnya adalah penggunaan sound horeg saat takbiran yang dinilai tidak layak.

“Takbiran diiringi alat musik dengan sound horeg tidak diperkenankan dalam keputusan kami,” tambahnya.

Fenomena sound horeg kini memunculkan dilema antara ekspresi budaya dan ketertiban sosial. Di satu sisi, ada kelompok masyarakat yang menikmati kehadirannya sebagai hiburan rakyat.

Namun di sisi lain, banyak warga yang merasa terganggu secara psikis dan fisik akibat kebisingan berlebihan.

Penyusunan regulasi oleh Pemprov Jatim menjadi upaya mencari titik tengah. Pemerintah tidak ingin mematikan kreativitas, namun juga tidak membiarkan potensi konflik terus berlarut.

Dengan pelibatan berbagai pihak, termasuk tokoh masyarakat, pemuka agama, dan aparat keamanan, diharapkan regulasi yang lahir mampu menjembatani kebutuhan hiburan masyarakat sekaligus menjaga kenyamanan publik.

Pos terkait