Hukum Marital Rape Bukanlah Solusi Bagi Perempuan

Erik Sri Widayati, S.Si. (Pengajar di Lumajang, Jawa Timur)
Erik Sri Widayati, S.Si. (Pengajar di Lumajang, Jawa Timur)

Oleh
Erik Sri Widayati, S.Si*‪

Tahukah Anda apa itu marital rape? Marital rape (pemerkosaan dalam rumah tangga) menurut wikipedia adalah pemaksaan untuk melakukan kegiatan seksual oleh suami terhadap istri atau sebaliknya. Walaupun seringkali istri sebagai korbannya.

Bacaan Lainnya

Mungkin masih terasa asing tetapi ini adalah salah satu aspek yang akan mendapatkan sanksi hukuman penjara dalam RUU KUHP. Menurut Komnas Perempuan terdapat data aduan dari istri yang mengaku diperkosa suami. Sehingga pasal tentang marital rape sangat penting.

“Berdasarkan Catatan Tahunan 2021, jumlah laporan terkait pemerkosaan terhadap istri adalah 100 kasus untuk 2020. Tahun 2019, data kasus mencapai 192 kasus yang dilaporkan,” ucap komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini (Detik.com,15/06/2021).

Komnas perempuan merasa perlu dan mendesak agar segera RUU ini dirampungkan. Apa yang disampaikan Komnas Perempuan itu sebenarnya wacana lama. Dan digulirkan kembali setelah mendapatkan momentum dari kasus pembacokan suami pada istrinya yang menolak diajak hubungan badan. Bisa jadi keinginan ini adalah untuk melindungi para istri dari tindak kekerasan suami mereka. Namun jika sudah menjadi pasal pidana apakah tidak menimbulkan masalah baru?

Sepertinya kita butuh melihat secara obyektif dalam menyikapi sebuah wacana:

Pertama, semua agama mengakui pernikahan adalah pintu halal bagi seorang pria dan wanita untuk berhubungan intim. Maka jika aktivitas ini dinilai pidana adalah sesuatu yang aneh.

Kedua, penelitian menyebutkan gairah seksual pria lebih besar 4 kali lipat dibandingkan wanita. Ditambah dengan banyak wanita berpakaian terbuka, sehingga pria bisa lebih sering memikirkan seks daripada wanita.

Bisa dibayangkan jika marital rape berhasil menjadi pasal pidana akan banyak suami yang berzina dengan wanita lain hanya karena takut kena pasal. Istri akan hilang ketaatannya pada suami sebaliknya banyak suami takut istri. Lagi pula apakah mungkin kehidupan pernikahan akan bisa berlanjut harmonis setelah sang istri melaporkan kejadian marital rape yang dilakukan suaminya?

Perlu dicatat bukan berarti pemaksaan suami terhadap istri itu baik. Jika dilihat dalam syariat Islam, Allah SWT memerintahkan para suami untuk melakukan mu’asyarah bil ma’ruf/pergaulan yang baik dengan istri. Nabi SAW bersabda, “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik pada istrinya.”

Dalam Islam pun ada hak dan kewajiban yang ditentukan Allah SWT untuk suami maupun istri. Keduanya tidak boleh melanggar hak dan kewajiban yang telah diatur olehNya. Bagi suami, selain ada kewajiban memberikan nafkah lahir juga berkewajiban memberi nafkah batin, termasuk melakukan hubungan intim.

Berdosa seorang suami yang mengabaikan kebutuhan biologis istrinya. Allah berfirman: “Wanita punya hak (yang harus ditunaikan suaminya sesuai ukuran kelayakan), sebagaimana dia juga punya kewajiban (yang harus dia tunaikan untuk suaminya)”. (TQS. al-Baqarah: 228)

Khalifah Umar bin Khathtab pernah mendapat pengaduan dari seorang perempuan tentang suaminya yang terlalu sibuk beribadah hingga mengabaikan nafkah batinnya. Beliau kemudian memerintahkan Ka’ab al-As’adi bertindak sebagai hakim untuk menyelesaikan pengaduan tersebut.

Kepada sang suami, Ka’ab berkata: ”Sebagai suami darinya, istrimu mempunyai hak atas dirimu. Kamu wajib memenuhi haknya itu. Allah SWT telah menghalalkan bagimu dua wanita, tiga wanita, atau sampai empat wanita untuk dapat kamu jadikan istrimu. Sekarang, istrimu hanya seorang. Itu berarti dalam empat hari berturut-turut kamu mempunyai waktu tiga hari untuk melakukan ibadah dan sehari dapat kamu gunakan untuk memenuhi kebutuhan biologis istrimu.”

Dalam islam antara suami dan istri adalah hubungan persahabatan yang saling memudahkan dan meringankan satu sama lain. Ketika para istri diminta taat pada suaminya termasuk dalam hal hubungan intim tidak menolaknya. Maka tergeraknya istri memenuhi hasrat suaminya adalah karena kasih sayang kepada suaminya sekaligus bukti ketaatannya kepada Tuhannya.

Maka komunikasi yang baik antara suami istri tidak akan menimbulkan kesan pemaksaan. Masing-masing melakukan hak dan kewajiban karena Rabb-nya sehingga akan terwujud keluarga yang sakinah.

Demikianlah menyelesaikan masalah kekerasan terhadap perempuan adalah dengan membuang sekularisme yang menempatkan akal manusia untuk mengatur urusan manusia. Dan menggantinya dengan syariat islam yang mulia yang menempatkan pria dan wanita pada tempatnya.

Identitas Penulis
*Penulis adalah Pengajar di Lumajang, Jatim.


**Kolom merupakan Rubrik Opini LINTASJATIM.com terbuka untuk umum. Panjang naskah minimal 400 kata dan maksimal 2500 kata. Sertakan riwayat singkat dan foto diri terpisah dari naskah (tidak dimasukan Ms. Word).
**Naskah dikirim ke alamat e-mail: redaksilintasjatim@gmail.com atau ke Wa Center
**Redaksi berhak menyeleksi tulisan serta mempublikasi atau tidak mempublikasi tulisan.
**Redaksi berhak merubah judul untuk keperluan SEO (search engine optimization)

Pos terkait