Membentuk Karakter dan Identitas Siswa Lewat Mapel Sejarah

Untung Wahyudi
Untung Wahyudi

Oleh
Untung Wahyudi*

Bencana penyebaran coronavirus disease (Covid-19) yang melanda dunia, banyak menimbulkan masalah yang membuat berbagai sistem tidak berjalan normal. Tak hanya di dunia ekonomi, usaha, tatanan sosial-masyarakat, tetapi juga di dunia pendidikan. Banyak permasalahan dalam dunia pendidikan, khususnya di Indonesia yang harus segera diselesaikan. Pembelajaran jarak jauh yang diberlakukan sejak Maret 2020, hingga sekarang masih berlangsung. Pembelajaran tatap muka semakin tidak mungkin untuk dilaksanakan karena pandemi yang tak kunjung berakhir.

Bacaan Lainnya

Di tengah badai pandemi yang menyerang sistem pendidikan Indonesia, beberapa waktu lalu muncul isu tentang rencana penghapusan Mata Pelajaran (mapel) Sejarah dalam kurikulum nasional. Isu tersebut membuat banyak pihak menyayangkan, kenapa salah satu mapel penting itu harus ditiadakan?

Dilansir dari suara.com (20/9), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim membantah isu yang menyebut Kemendikbud akan menghapus Mapel Sejarah pada jenjang SMA/SMK dan sederajat. Nadiem menyayangkan isu tersebut menjadi liar sampai ada beberapa pihak yang meragukan nasionalismenya sebagai Menteri. Padahal, setiap Menteri, lebih-lebih Mendikbud, juga punya misi penting untuk meningkatkan nilai-nilai nasionalisme lewat mapel Sejarah.

Klarifikasi yang disampaikan Mendikbud berusaha menyadarkan kita agar tidak mudah terpengaruh hoaks yang bertebaran di media sosial, sehingga menimbulkan kontroversi dan keresahan di masyarakat. Apalagi isu krusial tentang mapel Sejarah yang sudah sejak lama masuk dalam kurikulum nasional.

Dalam klarifikasinya, mantan Bos Go-Jek tersebut menyatakan bahwa, kakeknya, Hamid Algadri, adalah salah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Nadiem berusaha meyakinkan publik bahwa tidak ada rencana penghapusan mapel Sejarah. Nadiem menegaskan isu tersebut tidak benar sebab penyederhanaan kurikulum pendidikan nasional masih dalam proses pembahasan dengan berbagai pihak termasuk organisasi, pakar, dan pengamat pendidikan, yang merupakan bagian penting dalam pengambilan kebijakan pendidikan.

Jika Mapel Sejarah Dihapus

Isu rencana penghapusan mapel Sejarah memantik banyak diskusi di media sosial dan menimbulkan kontroversi di antara banyak kalangan. Dari praktisi pendidikan, guru Sejarah, hingga peniliti di bidang sejarah.

Peter Carey, guru besar tamu pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, merespons klarifikasi yang disampaikan Nadiem Makarim. Ia berharap, pernyataan Mendikbud benar-benar akan diterapkan secara nyata. Ia memang bukan orang Indonesia, tapi sebagai sejarawan yang selama setengah abad menggeluti salah satu episode penting dari masa lalu bangsa Indonesia, Peter Carey bertanya sekaligus mengajukan sebuah refleksi melalui pengandaian: jika Sejarah benar-benar tidak lagi menjadi mata pelajaran yang diwajibkan untuk semua siswa, apalagi dihapus dari kurikulum nasional, bagaimana akibatnya?

Menurutnya, apabila orang Indonesia tidak tahu-menahu sejarah sendiri, mereka akan menjadi bangsa “tweede hand”—sebuah bangsa “tangan kedua” yang hidup di bawah naungan bangsa lain dan lebih mengenal sejarah negara-negara Barat dibandingkan sejarah bangsa sendiri. Jika demikian yang terjadi, bangsa Indonesia tidak akan bisa benar-benar berdaulat dan—seperti kutipan Gil Scott-Heron—tidak akan tahu dari mana diri mereka berasal serta hendak ke mana mereka bertujuan (Tirto.id, 22/9/2020).

Benarkah Belajar Sejarah Itu Susah?

Isu rencana penghapusan Mapel Sejarah yang beredar belakangan ini membuat kita kembali menengok ke belakang bahwa, selama ini ada yang menganggap bahwa pelajaran Sejarah itu sarat dengan hafalan. Siswa yang belajar Sejarah dituntut untuk menghafal nama pejuang, tempat, hingga berbagai peristiwa yang terjadi.

Petrik Matanasi, dalam opininya berjudul Mengapa Pelajaran Sekolah Tidak Disukai (Tirto.id, 14/10/2016), mengatakan, selama ini banyak yang berpikiran, sejarah adalah pelajaran menghafal tanggal dan nama belaka. Materi yang diajarkan juga dianggap terlalu banyak. Itulah yang membuat pelajaran Sejarah seperti neraka tambahan di sekolah sehingga, tidak disukai oleh sebagian besar siswa.

Patrik juga menambahkan, sesungguhnya, hampir seluruh pelajaran mewajibkan siswa untuk menghafal. Seperti pelajaran Agama Islam yang mengharuskan siswa hafal banyak doa atau surat pendek. Namun, itu semua jelas berguna bagi siswa yang bersangkutan. Demikian pula pelajaran Kimia juga mengharuskan siswa menghafal rumus atau simbol zat-zat kimia. Tidak ada masalah jika siswa yang menghafalnya akan mendalami sains atau teknik.

Namun, mengapa pelajaran menghafal sejarah seperti beban besar bagi kebanyakan siswa? Barangkali karena menghafal tanggal dan nama dalam sejarah tidak banyak bersentuhan dengan kehidupan mereka setelah ujian. Apalagi setelah sukses menghafal banyak hal dalam peristiwa sejarah, ternyata muncul perdebatan, ternyata apa yang sudah dihafalkan itu tidak sesuai dengan fakta.

Membentuk Karakter dan Identitas

Meskipun Sejarah termasuk mapel yang sarat dengan hafalan, tetapi bukan berarti kita antipati dengan sejarah. Banyak hal yang perlu digali dan dipelajari dari sejarah perjuangan bangsa sehingga, kelak bisa menumbuhkan nilai-nilai nasionalisme dalam diri siswa.

Petrik Matanasi menegaskan, sejarah harusnya bisa menanamkan semangat juang anak-anak untuk berjuang meraih impiannya. Guru bisa mengajak anak-anak dengan belajar dari Gajah Mada yang pantang makan buah palapa sebelum mempersatukan nusantara, atau soal Hatta yang pantang menikah sebelum Indonesia merdeka.

Bercerita tanpa panjang lebar disertai tanya jawab, asal hal yang diceritakan tak melulu yang ada di buku, siswa biasanya mau mendengar. Karena apa yang ada di buku bisa dibaca di rumah. Tentu saja, apa yang diceritakan bukan untuk dihafal tapi jadi bahan renungan bersama.

Menonton film-film sejarah di Youtube juga bisa membantu siswa untuk belajar dari sebuah peristiwa atau tokoh sejarah. Hal ini sangat relevan dengan pembelajaran daring yang selama ini dilaksanakan selama masa pandemi. Dengan membaca sejarah, kita bisa menggali semangat dan nilai-nilai positif yang bisa dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Misal, tentang keberanian menghadapi pelbagai persoalan, hingga membantu dan menolong orang-orang yang dalam kesusahan, sebagaimana telah dipraktikkan oleh para pejuang yang mendahului kita. (*)

Identitas Penulis
*Penulis adalah lulusan UIN Sunan Ampel, Surabaya

_____________________

**Kolom merupakan Rubrik Opini LINTASJATIM.com terbuka untuk umum. Panjang naskah minimal 400 kata dan maksimal 2500 kata. Sertakan riwayat singkat dan foto diri terpisah dari naskah (tidak dimasukan Ms. Word).
**Naskah dikirim ke alamat e-mail: redaksilintasjatim@gmail.com atau ke Wa Center
**Redaksi berhak menyeleksi tulisan serta mempublikasi atau tidak mempublikasi tulisan.
**Redaksi berhak merubah judul untuk keperluan SEO (search engine optimization)

Pos terkait