Equal Pay Day, Ilusi Dalam Sistem Kapitalisme

Ilustrasi Gaji Karyawan dan Karyawati
Ilustrasi Gaji Karyawan dan Karyawati

Oleh
Ummu Aqila Sakha*

Kesetaraan upah antara laki-laki dengan perempuan seolah menjadi angin segar bagi kaum perempuan ditengah pandemi saat ini. Betapa tidak menurut data global yang dirilis UN Women menunjukan bahwa perempuan dibayar lebih rendah dibanding laki-laki, dengan perkiraan kesenjangan upah sebesar 16%.

Bacaan Lainnya

Selain itu, dilansir dari rilis pers resmi ILO, perempuan memperoleh 77 sen dari setiap satu Dollar yang diperoleh laki-laki untuk pekerjaan yang bernilai sama, dengan kesenjangan yang bahkan lebih besar bagi perempuan yang memiliki anak.

Dalam Pemantauan ILO: COVID-19 dan dunia kerja: Edisi ke-5 yang diterbitkan pada Juli 2020, ditemukan bahwa banyak pekerja perempuan mendapatkan dampak berbeda selama pandemi, khususnya terkait dengan besarnya keterwakilan mereka dalam sektor-sektor perekonomian yang paling terkena dampak krisis ini, seperti akomodasi, makanan, penjualan dan manufaktur. Perempuan juga banyak bekerja di sektor perekonomian informal yang tidak memiliki asuransi kesehatan dan perlindungan sosial.

Sedangkan di Indonesia sendiri, sebagaimana kondisi global, perempuan Indonesia juga memperoleh pendapatan 23% lebih rendah dibandingkan laki-laki. Data yang sama juga menyatakan bahwa perempuan yang sudah memiliki anak, angka selisih gajinya jauh lebih besar dengan laki-laki. Tentu saja perbedaan upah tersebut berdampak buruk bagi ekonomi perempuan. Terutama pada masa-masa sulit di tengah pandemi COVID 19 seperti sekarang ini.

Hal ini tidak hanya terjadi di kalangan menengah ke bawah atau perempuan yang memiliki pendidikan rendah. Data tersebut menunjukan bahwa banyak juga perempuan yang memiliki gelar D3/D4 atau sarjana, tapi upahnya masih lebih kecil dibandingkan laki-laki. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan yang lebih tinggi tidak mengurangi angka kesenjangan upah berdasarkan gender.

Berangkat dari isu ini, untuk pertama kalinya Indonesia bersama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), turut berpartisipasi dalam merayakan Hari Kesetaraan Upah Internasional yang jatuh pada 18 September. Perayaan tersebut juga sebagai bentuk komitmen dari PBB untuk memperjuangkan hak asasi manusia dan menentang segala bentuk diskriminasi, termasuk diskriminasi terhadap perempuan dan anak. (kumparan.com, 19/09/2020).

Kesetaraan upah masih menjadi mimpi dunia saat ini. Berbagai seremoni peringatan hari upah yang dilakukan pun tidak lebih dari sekedar basa-basi khas sistem sekuler kapitalis dalam mengatasi masalah kaum perempuan.

Tahun demi tahun berganti, peringatan ratapan kaum perempuan terus di adakan namun tidak juga mengubah keadaan. Tuntutannya pun tidak pernah berubah, minta di hargai dan diberi kesamaan hak dan berharap kesejajaran dengan laki-laki akan menjadi solusi untuk mereka.

Selain itu, mereka pun meyakini bahwa upah yang setara adalah bagian dari upaya untuk mensejahterakan perempuan dan mewujudkan kesetaraan perempuan. Namun sesungguhnya itu hanyalah narasi yang menyesatkan. Kesejateraan perempuan niscaya tidak akan terwujud dengan adanya upah setara. Alih-alih sejahtera, perempuan malah menanggung beban baru dan memunculkan masalah baru dalam keluarga.

Berbagai masalah kesejahteraan perempuan sebenarnya justru muncul karena penerapan sistem kapitalisme yang tidak mampu mensejahterakan baik laki-laki maupun perempuan. Para penyeru kesetaraan perempuan justru mengumbarkan persaingan antara laki-laki dengan perempuan.

Padahal dalam masyarakat kedua jenis ini hidup bersama secara alami dan saling tolong menolong. Meskipun jika mereka memberikan perhatian terhadap kesejahteraan perempuan, kesejahteraan itu diwujudkan dengan cara eksploitatif. Yakni mendorong perempuan bekerja tanpa khawatir terhadap kesenjangan upahnya dan menghilangkan hambatan atau peran domestik untuk terjun ke semua jenis pekerjaan. Inilah jaminan kesejahteraan perempuan dalam sistem sekuler kapitalisme.

Sedangkan dalam sistem islam, mengenai hak-hak ekonomi perempuan akan dijamin sesuai visi politik ekonomi islam. Visi politik ekonomi ini akan menjamin pemenuhan kebutuhan dasar bagi setiap individu dengan pemenuhan yang menyeluruh. Di syariatkan bahwa pemenuhan kebutuhan tersebut sampai tataran perempuan mendapatkan pemenuhan dalam makanan, pakaian, dan tempat tinggal.

Islam menjaga kemuliaan perempuan sesuai dengan fitrah penciptaannya. Tidak akan ada perempuan yang akan terpaksa mencari nafkah dan mengabaikan kewajibannya sebagai istri, ibu dan pengatur rumah tangga.

Sekalipun islam tidak melarang perempuan bekerja, namun bekerjanya perempuan untuk mengamalkan ilmu demi kemaslahatan umat. Kaum perempuan di jaga kehormatannya dengan dilarang mempekerjakan mereka di tempat-tempat penjualan untuk menarik pengunjung, dikantor diplomat dan konsulat dalam rangka mencapai tujuan politik tertentu .

Dalam pandangan politik ekonomi Islam bukan hanya menyamakan tetapi lebih menghormati tenaga kerja perempuan. Alternatif yang bisa dilakukan adalah perempuan bekerja di rumah atau bisa juga diluar rumah sebagai ilmuan, dokter, perawat, guru dan sebagainya.

Namun tempat bekerja dan sarana transportasi ke tempat bekerja tidak berdesak-desakan dan bercampur baur dengan laki-laki. Dengan demikian tidak akan pernah terjadi kasus pelecehahan kehormatan perempuan, dan kesejahteraan bagi kaum perempuan akan terwujud nyata dalam naungan islam kaffah. Wallahu’alam…

Identitas Penulis
*Penulis adalah Seorang Guru di Leces Probolinggo

_____________________

**Kolom merupakan Rubrik Opini LINTASJATIM.com terbuka untuk umum. Panjang naskah minimal 400 kata dan maksimal 2500 kata. Sertakan riwayat singkat dan foto diri terpisah dari naskah (tidak dimasukan Ms. Word).
**Naskah dikirim ke alamat e-mail: redaksilintasjatim@gmail.com atau ke Wa Center
**Redaksi berhak menyeleksi tulisan serta mempublikasi atau tidak mempublikasi tulisan.
**Redaksi berhak merubah judul untuk keperluan SEO (search engine optimization)

Pos terkait