Antara SILPA, APBD dan Corona

Rut Sri Wahyu Ningsih
Rut Sri Wahyu Ningsih

Oleh
Rut Sri Wahyuningsih*

Mungkin saja, jika Covid-19 bisa bicara kepada penduduk seluruh dunia ini, tentu ia akan mengeluh capek, sebab kini seluruh dunia menuduh ialah aktor dibalik jebloknya ekonomi, rusaknya ketahanan keluarga, banyaknya pengangguran, hilangnya pekerjaan para ayah, perusahaan yang bangkrut dan lain sebagainya.

Bacaan Lainnya

Dan banyak yang tidak mengetahui bahwa semua itu adalah efek buruk ketika mempraktikkan sistem aturan yang salah, sehingga meskipun tampaknya bagus namun keropos secara perlahan dan pasti. Covid-19 hanya mempercepat efek itu datang. 

Dilansir dari Pendapatan Sidoarjo news.com, tanggal 27 Agustus 2020, Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten Sidoarjo tahun 2020 yang semula sebesar Rp 1,81 triliun, merosot 18 persen menjadi Rp 1,468 triliun.

Akibatnya, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dalam pembahasan Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) tahun anggaran 2020 nanti akan lebih fokus pada program pemulihan ekonomi.

Hal tersebut diungkapkan oleh Plh Bupati Sidoarjo, Achmad Zaini saat ditemui di Pendopo Delta Wibawa Sidoarjo. Menurutnya, anjloknya nilai PAD tersebut akibat adanya musim Pandemi saat ini, dimana kondisi tersebut berdampak pada sejumlah pos kehilangan pemasukan.

Zaini mencontohkan, sejumlah pendapatan dari sektor hotel dan restoran merosot lantaran sepinya industri tersebut di tengah pandemi.

“Kita beruntung baru-baru ini memasuki masa transisi, faktor perekonomian mulai bergeliat kembali. Pada saat pandemi kemarin, restoran itu faktor pendapatannya dari mana ketika ruang gerak dibatasi,” katanya.

Namun, di sisi lain, terdapat laporan banyak anggaran tak terserap dan yang paling mendapatkan sorotan DPRD adalah Dinas PU dan Dinas Pendidikan Sidoarjo.

Zahlul Yussar, juru bicara fraksi-fraksi dalam rapat DPRD menyoroti soal Mengapa masih terjadi silpa yang cukup besar, padahal anggaran tersebut masuk dalam belanja sesuatu yang terukur dan jelas,” Katanya.

Dan kelebihan  Silpa ini  terjadi setiap tahun, Zahlul juga mengingatkan terkait anggaran sistem belajar daring yang katanya membutuhkan tambahan anggaran sebesar Rp. 6 Milyar. Tapi masih belum memberikan rincian dari Dikbud rencana kebutuhan dana tersebut.

Mengapa bisa ada perbedaan pelaporan, mana yang mesti dipercaya? Maka yang perlu dicermati adalah APBD dari pos-posnya. Pertama, disebabkan APBN, pos pemasukannya bertumpu pada hutang dan pajak. Padahal keduanya memang sangat rentan flutuatif. Mudah digoncang oleh wabah, bencana maupun kondisi politik suatu negara.

Lihat saja ketika pandemi datang, semua lumpuh keteteran . Terlebih kondisi masyarakat yang sebelumnya sudah terbagi dalam kaya dan miskin yang sedemikian dalam, menghilangkan empati dan berganti individualistis. Tak ada makan siang gratis, menolong pun ada servis atau imbal baliknya.

Kedua, negara berfokus pada ekonomi konglomerat dan wisata, yang mana inipun lemah sifatnya. Ketika banyak manusia yang menjadi SDMnya terpapar Covid-19 siapa yang akan menjalankan roda perekonomiannya? Maka mestinya fokusnya pada proses penyembuhan dan peniadaan Covid-19. Dengan segala cara dan tidak tergantung dengan negara barat dalam menentukan nasib bangsanya sendiri.

Ketiga perlu penataan pengeluaran pos secara lebih cermat lagi, baik catatan maupun pos-pos yang dibutuhakan, dengan menjadikan maslahat masyarakat sebagai fokus utama. Sebagaimana dalam Baitul mal, APBN dalam sistem Islam, maka pos zakat yang diperuntukkan 8 ashnaf sebagaimana disebutkan di Alquran, maka selebihnya adalah tergantung ijtihad Khilafah.

Diutamakan kepentingan pokok bagi individu-individu rakyat seperti papan, sandang, pangan, kesehatan, pendidikan dan keamanan dijamin oleh negara, baik pemberian langsung, pembukaan lapangan pekerjaan, maupun menjual hasil dari kepemilikan umum dan hasilnya dirupakan dalam fasilitas umum yang dibutuhkan rakyat.

Alhasil seluruh dana yang terkumpul akan terserap secara efisien tanpa meninggalkan anggaran yang mubazir. Hal ini meniscayakan pemasukan yang real pula, bukan dari hutang apalagi pajak. Yaitu penguasaan dari kepemilikan umum. Didorong pula dengan ketakwaan kepada Allah, dengan hanya menjalankan sistem yang tidak bertentangan dengan syariat. Pastilah semakin menghadapai gangguan apapapun. Wallahu a’lam bish showab.

Identitas Penulis
*Penulis adalah anggota Institut Literasi dan Peradaban

**Kolom merupakan Rubrik Opini LINTASJATIM.com terbuka untuk umum. Panjang naskah minimal 400 kata dan maksimal 2500 kata. Sertakan riwayat singkat dan foto diri terpisah dari naskah (tidak dimasukan Ms. Word).
**Naskah dikirim ke alamat e-mail: redaksilintasjatim@gmail.com atau ke Wa Center
**Redaksi berhak menyeleksi tulisan serta mempublikasi atau tidak mempublikasi tulisan.
**Redaksi berhak merubah judul untuk keperluan SEO (search engine optimization)

Pos terkait