Tobatnya Pelacur Menjadi Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an

M. Najib Tsauri, aspri Dr. Nyai Hj. Lilik Ummi Kaltsum, MA (Wakil Dekan II Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
M. Najib Tsauri, aspri Dr. Nyai Hj. Lilik Ummi Kaltsum, MA (Wakil Dekan II Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Oleh
M. Najib Tsauri*

“Hai para pemuda! Siapa di antara kamu sanggup nikah, hendaklah ia nikah karena pernikahan itu lebih menjamin terpeliharanya mata dan terpeliharanya kehormatan. Dan barangsiapa yang tidak sanggup, maka hendaklah berpuasa, karena berpuasa itu mengurangi naluri seksnya.” (Riwayat shahihain dari Ibnu Mas’ud).

Bacaan Lainnya

Di masa dahulu kesempatan melakukan tindakan asusila amat sempit sekali karena masyarakat sangat ketat menjaga kemungkinan terjadinya dan bila diketahui hukuman yang ditimpakan kepada pelakunya amat berat sekali. Oleh sebab itu, perbuatan asusila itu jarang terjadi.

Berlainan dengan masa sekarang di mana masyarakat terutama di kota-kota besar tidak begitu mengindahkan masalah ini, bahkan di daerah-daerah tertentu dilokalisir sehingga banyak pemuda-pemudi yang kurang kuat imannya jatuh terperosok ke dunia hitam itu. Oleh sebab itu, dianjurkan kepada pemuda-pemudi, bahkan kepada semua laki-laki yang tidak beristri dan perempuan yang tidak bersuami yang patuh dan taat kepada ajaran agamanya, agar benar-benar menjaga kebersihan diri dan moralnya dari perbuatan terkutuk itu, terutama dengan berpuasa sebagaimana dianjurkan oleh Rasulullah dan dengan menyibukkan diri pada pekerjaan dan berbagai macam urusan yang banyak faedahnya atau melakukan berbagai macam hobi yang disenangi seperti olahraga, musik dan sebagainya (Tafsir-Qur’an Kemenag).

Fenomena sekarang, pekerjaan asusila (seks) diperjualbelikan layaknya komoditi seperti barang dan jasa di pasaran. Masyarakat pada umumnya menyebutnya kegiatan komersialisasi seks perempuan. Hingga sebutan bagi mereka dikenal dengan istilah pekerja seks komersial (PSK). Saat ini lebih dikenal dengan prostitusi online.

Melalui upaya transaksi, memperjualbelikan tubuh, penjajahan dan jaminan kepuasan seksual yang mereka tawarkan. Tujuannya tidak lain hanyalah mendapatkan uang dengan mudah. Alasan ini sebagai pembenaran tindakan mereka itu. Demi kelancaran bisnis ini, para pekerja seks komersial tentunya membutuhkan muncikari yang bertugas sebagai perantara sekaligus pemasok dan menjaga keamanan PSK.

Melihat ulasan di atas tentunya tidak lepas dari sejarah panjang dari sebuah kisah para wanita penghibur pada masa awal Islam (jahiliah). Hal ini dapat dilihat dari kisah wanita yang diuraikan dalam tulisan ini. Dengan harapan kisah ini menjadi pelajaran bersama, yakni senantiasa dapat menjauhi diri dari kemaksiatan.

Musaikah adalah seorang pelacur yang diambil dari ‘Abdullah Ibn Ubayy Ibn Salul. ‘Abdullah Ibn Ubayy memiliki beberapa tempat yang dikhususkan untuk para pelacur yang berasal dari Yahudi dan non-Yahudi. Di depan tempat pelacuran itu dipasang bendera merah agar mudah dikenal. Di antara pelacur itu terdapat seorang yang bernama Musaikah, wanita yang dipaksanya melacur sejak umat Islam belum hijrah ke Madinah (Jabir Asyaal, 1998: 105).

‘Abdullah Ibn Ubayy menjanjikan kepada Musaikah dan pada pelacur lainnya hadiah yang sangat banyak. Jika mereka berhasil menjerat seorang pemuda muslim (anshar) untuk berbuat maksiat. Namun upayanya gagal, karena kebencian dan kedengkian yang sangat nampak dari lelaki itu. Justru hal ini mendorong Musaikah sendiri ingin mengetahui dan mempelajari agama Islam.

Secara diam-diam pula, Musaikah mendekati dan bergaul dengan wanita-wanita anshar yang lebih dahulu terbuka hatinya memeluk agama Islam. Berkumpul dan berdekatan dengan para wanita itu, ia banyak mendengar lantunan ayat-ayat al-Qur’an, sehingga lama kelamaan hatinya condong kepada Islam (Jabir Asyaal, 1998: 106).

Hal ini membuat Musaikah sadar bahwa selama ini ia telah berada di jalur yang salah yang penuh dengan noda dan dosa. Ia ingin bertaubat, sejenak ia ragu, tapi kemudian ia bertekad untuk bertaubat. Ia tidak peduli apa yang akan terjadi, meskipun ia akan disiksa oleh ‘Abdullah Ibn Ubayy ia tak akan peduli (Abdurrahman Umairah, 1992: 277).

Sampai suatu hari Musaikah disiksa oleh ‘Abdullah Ibn Ubayy, lalu ia datang menghadap Rasulullah saw di Masjid untuk menyampaikan semua yang dialaminya. Sebelum menemui Rasulullah, di pintu ia bertemu dengan Abu Bakar al-Shiddiq yang terkejut melihat luka-luka di sekujur tubuh Musaikah. Kemudian Abu Bakar bertanya kepadanya tentang lukanya itu. Musaikah menjelaskan tentang perbuatan keji ‘Abdullah Ibn Ubayy Ibn Salul yang memaksanya melakukan praktek pelacuran. Lalu Abu Bakar menemui Rasulullah saw dan menceritakan semua yang didengarnya dari Musaikah.

Setelah mendengar cerita Abu Bakar, beberapa saat kemudian beliau terdiam. Kemudian Allah swt menurunkan wahyu mengenai masalah yang dialami Musaikah, yang terdapat pada QS. al-Nur [24]: 33. Kisah ini diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud dari Jabir ra bahwa ‘Abdullah Ibn Ubayy Ibn Salul mempunyai dua amat (hamba sahaya perempuan), yaitu Musaikah dan Umaimah. Lalu ia memaksanya untuk melacur, kemudian mereka mengadukan hal itu kepada Rasulullah, maka turunlah ayat QS. al-Nur [24]: 33: 

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا ۖ وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ ۚ وَلَا تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَمَنْ يُكْرِهْهُنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan jika hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian kepada mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Dan barangsiapa memaksa mereka, maka sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa.

Betapa bahagia dan besarnya rasa syukur Musaikah mendengar turunnya ayat dari langit tentang dirinya. Hal ini membuat kemantapan keimanan dirinya. Ia pun bersyukur kepada Allah.

Kisah Musaikah di atas juga mirip dengan kisah pelacur lain. Hal ini dijelaskan M. Quraish Shihab sebagaimana ia mengutip pendapat Ibn Asyur yang menyatakan, bahwa profesi ini pernah dibenarkan dalam pandangan masyarakat lama. Ulama ini menunjuk ke Perjanjian Lama, untuk mengukuhkan pendapatnya. Di sana dinyatakan: Yehuda melihat seorang wanita yang disangkanya pelacur, lalu ia berkata kepadanya: “Marilah aku hendak menghampirimu.” Perempuan itu dijanjikan untuk diberi seekor anak kambing (baca selengkapnya Kejadian 38: 12-19).

Makkah pada masa awal Islam mengenal sembilan orang wanita yang profesinya melacur, serta memasang tanda-tanda di pintu-pintu rumah mereka. Salah seorang di antaranya adalah ‘Anaq dan Murtsid Ibn Abu Murtsid yang disebut kasusnya pada ayat ketiga surat ini. Di Madinah dikenal luas adanya enam wanita yang kesemuanya adalah hamba sahaya ‘Abdullah Ibn Ubayy Ibn Salul, tokoh munafik yang menyebarluaskan rumor tentang keluarga Nabi saw. M. Quraish Shihab mengutip pendapat Ibn ‘Arabi sebagaimana ia mengutip riwayat dari Imam Malik dan al-Zuhri yang menyatakan bahwa soerang tawanan Perang Badar ditahan pada ‘Abdullah Ibn Ubayy. Tawanan ini hendak berhubungan seks dengan Mu’adzah, salah seorang dari budak wanita yang dipekerjakan ‘Abdullah Ibn Ubayy sebagai pelacur itu. Tetapi Mu’adzah enggan karena ia telah memeluk Islam, namun ‘Abdullah Ubayy memaksa dan memukulnya, dengan harapan wanita itu hamil dari sang tawanan, lalu ia menuntut ganti rugi (M. Quraish Shihab, 2002: vol 9, 339-340).

Karena kebiasaan masyarakat Jahiliah adalah membayar kepada tuan pemilik hamba sahaya seratus ekor unta untuk mendapatkan anaknya yang lahir dari sang pelacur milik tuan itu. Menurut riwayat tadi, Mu’adzah datang mengadu kepada Nabi saw dan turunlah ayat QS. al-Nur [24]: 33.

Riwayat lain menyatakan bahwa ‘Abdullah Ibn Ubayy memang menyediakan “wanita-wanita penghibur” untuk menghormati tamu-tamunya. Salah seorang di antara mereka adalah Mu’adzah. Nah, saat itu, tiba saatnya Mu’adzah mengadu kepada Abu Bakar, dan melaporkan hal tersebut kepada Nabi saw. Nabi pun kemudian memerintahkan Abu Bakar untuk menangkap ‘Abdullah Ibn Ubayy. Ayat ini turun berkenaan dengan kasus itu. Peristiwa ini terjadi sebelum ‘Abdullah Ibn Ubayy berpura-pura memeluk Islam (M. Quraish Shihab, 340).

Inilah sosok wanita yang juga di dalam kisahnya terdapat suatu pelajaran bagi kaum wanita. Di antara pelajaran yang dapat diambil adalah di mana Musaikah dan Mu’adzah adalah sosok wanita pelacur. Akan tetapi Musaikah dan Mu’adzah tetap bertaubat dan memohon ampun kepada Allah walaupun ia harus disiksa oleh ‘Abdullah Ibn Ubayy Ibn Salul. Sampai Allah menurunkan ayat mengenai dirinya itu.

Demikian kisah yang tergambar dalam al-Qur’an sebagai peraturan yang diturunkan Allah untuk keharmonisan dan kebersihan suatu masyarakat, bila dijalankan dengan sebaik-baiknya akan tercipta masyarakat yang bersih, aman dan bahagia jauh dari hal-hal yang membahayakannya. Wallahu A’lam!

Referensi:

Asyaal, Jabir. Al-Qur’an Berbicara Soal Wanita, terj. Aziz Salim, Jakarta: Gema Insani, 1998.

Aplikasi Tafsir-Qur’an Kemenag versi 1.3.3.9 (www.quran.kemenag.go.id)

Prasetyo, Wahyu Adi. “Jaringan Sosial Prostitusi Peran dan Fungsi Mucikari di Lokalisasi Sanggrahan Tretes”, AntroUnairDotNet, Vol. 3, No. 1, 2014.

Shihab, Quraish M. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Umairah, Abdurrahman. Wanita-Wanita Penyebab Turunnya Ayat, Jakarta: Pustaka Mantiq, 1992.

Identitas Penulis
*Penulis pernah nyantri di Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan Jawa Timur. Saat ini ia menjadi aspri Dr. Nyai Hj. Lilik Ummi Kaltsum, MA (Wakil Dekan II Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Ia juga menjadi salah satu pengelola/editor Jurnal Refleksi dan Jurnal Ilmu Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta..

**Kolom merupakan Rubrik Opini LINTASJATIM.com terbuka untuk umum. Panjang naskah minimal 400 kata dan maksimal 2500 kata. Sertakan riwayat singkat dan foto diri terpisah dari naskah (tidak dimasukan Ms. Word).
**Naskah dikirim ke alamat e-mail: redaksilintasjatim@gmail.com atau ke Wa Center
**Redaksi berhak menyeleksi tulisan serta mempublikasi atau tidak mempublikasi tulisan.
**Redaksi berhak merubah judul untuk keperluan SEO (search engine optimization)

Pos terkait