Oleh
Sam Edy Yuswanto*
Pendidikan merupakan hak setiap warga negara yang dalam pelaksanaannya harus ada sinergi antara pemerintah, anak (peserta didik), orangtua (wali murid), guru (tenaga pendidik), dan masyarakat luas. Termasuk di antara masyarakat luas adalah keberadaan ormas-ormas (organisasi masyarakat) yang memiliki rekam jejak yang baik seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Tanpa sinergi dan kerja sama yang baik antara satu dengan lainnya, tentu pendidikan yang digalakkan pemerintah tidak akan berjalan dengan baik (tidak maksimal).
Secara teori, yang namanya sebuah program, apa pun itu bentuk dan namanya, tentu harus ada kerja sama dari berbagai pihak. Tidak mungkin sebuah program bisa sukses dengan cara berjalan sendiri tanpa adanya dukungan dan kerja sama yang baik dengan pihak lainnya. Contoh kecil, ketika kita membuka sebuah bisnis, misalnya membuka kafe, juga diperlukan kerja sama yang baik dan harmonis antara pemilik (pengelola) bisnis, para karyawan, dan juga orang-orang yang menjadi target (konsumen) dari usaha kafe tersebut. Tanpa kerja sama yang baik, tentu bisnis yang dijalankan akan tersendat-sendat atau mengalami banyak persoalan, bahkan gulung tikar sebelum meraih kesuksesan.
Begitu pula dengan program pendidikan, yang tidak akan bisa sukses dan mengalami kemajuan yang signifikan bila berdiri sendiri tanpa adanya kerjasama antara pemerintah, guru, orangtua, dan masyarakat, sebagaimana telah saya uraikan di atas. Dengan kata lain, dalam memajukan pendidikan di negeri ini, dibutuhkan sikap gotong royong dari berbagai pihak terkait.
Program Unggulan Kemendikbud
Tahun ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tengah berusaha merealisasikan salah satu program unggulannya, yakni Program Organisasi Penggerak. Sebagaimana dilansir Republika.co.id (23/07/2020) Program Organisasi Penggerak merupakan salah satu program unggulan Kemendikbud. Bertujuan memberikan pelatihan dan pendampingan bagi para guru penggerak untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan peserta didik.
Yang menjadi landasan hukum pelaksanaan program tersebut, yakni; pertama, peraturan Mendikbud Nomor 32 Tahun 2019 tentang pedoman umum penyaluran bantuan pemerintah di Kemendikbud; kedua, peratuan Sekjen Kemendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang Juknis penyaluran bantuan pemerintah untuk pengembangan mutu guru dan tenaga kependidikan (Kemdikbud.go.id).
Dalam program tersebut, Kemendikbud berupaya melibatkan organisasi-organisasi masyarakat yang mempuyai kapasitas meningkatkan kualitas para guru melalui berbagai pelatihan. Anggaran yang dialokasikan oleh Kemendikbud sebesar Rp567 miliar per tahun, sebagai biaya pelatihan atau kegiatan yang diselenggarakan organisasi terpilih (Republika.co.id, 23/07/2020).
Terkait pendaftaran ormas yang ingin terlibat dalam program organisasi penggerak, Kemendikbud.go.id menjelaskan, dapat dilakukan mulai 2 Maret 2020. Pengajuan proposal dapat dilakukan tanggal 16 Maret sampai dengan 16 April 2020. Sementara untuk implementasi program tersebut, rencananya dilakukan mulai bulan Juni 2020.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, kira-kira siapa saja yang boleh bergabung dengan Program Organisasi Penggerak (POP) dan apa saja syaratnya? Berdasarkan penjelasan pada laman Kemdikbud.go.id bahwa yang bisa mengikuti program ini adalah organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan. Selanjutnya, persyaratan organisasi kemasyarakatan yang dapat mengikuti POP terdiri atas persyaratan umum dan persyaratan khusus.
Persyaratan umum meliputi: memiliki akta pendirian dan telah disahkan notaris, memiliki kedudukan (domisili), memiliki surat keputusan pengesahan sebagai Badan Hukum dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, dan lain sebagainya. Sementara untuk persyaratan khusus meliputi: memiliki pengalaman atau bukti keberhasilan program di bidang pendidikan di satuan pendidikan, mengajukan proposal dalam kurun waktu yang telah ditetapkan. Keterangan lebih jelas dan detailnya sekaligus apa saja yang selama ini kerap dipertanyakan, silakan Anda bisa membaca langsung melalui link berikut: https://sekolah.penggerak.kemdikbud.go.id/organisasipenggerak?pertanyaan-sering-ditanyakan/.
Tiga Skema Pembiayaan
Selanjutnya, merujuk keterangan Kemdikbud.go.id, Program Organisasi Penggerak (POP) memiliki tiga skema pembiayaan. Jadi, selain murni Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terdapat skema pembiayaan mandiri dan dana pendamping (matching fund). Sejumlah organisasi penggerak akan menggunakan pembiayaan mandiri dan matching fund. Definsi Matching fund adalah bantuan dana yang diberikan oleh salah satu pihak untuk melengkapi atau memperkuat sebuah program. Dalam Program Organisasi Penggerak, para peserta melipatgandakan bantuan dana dari plafon yang selama ini ditetapkan pemerintah.
Hal yang perlu dipahami, pihak Kemendikbud tetap melakukan pengukuran keberhasilan program melalui asesmen dengan tiga instrumen. Pertama, Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter (SD/SMP). Kedua, instrumen capaian pertumbuhan dan perkembangan anak (PAUD). Ketiga, pengukuran peningkatan motivasi, pengetahuan, dan praktik mengajar guru dan kepala sekolah. Selain itu, proses seleksi yayasan atau organisasi yang memilih skema pembiayaan mandiri dan matching fund juga dilakukan dengan kriteria yang sama dengan peserta lain yang menerima anggaran negara (Kemdikbud.go.id).
Namun sayangnya, dalam awal pelaksanan program tersebut, Kemendikbud mengalami sejumlah kendala. Salah satunya adalah mundurnya dua ormas besar dari program yang digagas oleh Kemendikbud tersebut. Padahal kedua ormas tersebut selama ini menjadi pentolan dan bisa dibilang paling banyak pengikutnya. Kedua ormas yang dimaksud adalah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Mengapa hal itu bisa terjadi?
Berdasarkan keterangan Jawapos.com (22/07/2020) bahwa Muhammadiyah menyatakan mundur dari program organisasi penggerak Kemendikbud. Pasalnya, disebutkan bahwa seleksi organisasi masyarakat (ormas) yang lolos tidak jelas. Sementara alasan mundurnya Lembaga Pendidikan Maarif NU dari program unggulan Kemendikbud tersebut karena, sebagaiman diungkap Arifin Junaidi, selaku ketua LP Maarif NU, program tersebut dari awal sudah janggal. Pasalnya, dua hari sebelum penutupan, pihaknya dimintai proposal untuk mengikuti program tersebut.
Mundurnya kedua ormas tersebut dari program organisasi penggerak sebenarnya sangat disayangkan, mengingat Muhammadiyah dan NU selama ini menjadi ormas terbesar, tepercaya, dan memiliki banyak pengikut di berbagai daerah. Bagaimana agar mereka kembali bergabung dengan program gagasan Kemendikbud tersebut? Menurut saya, mereka harus bertemu, bermusyawarah, dan mendiskusikan hal-hal (terkait POP) yang perlu disepakati dan ditolerir bersama, agar ke depan program yang memiliki tujuan memajukan pendidikan di negeri ini dapat berjalan dengan baik dan harmonis sesuai harapan bersama.
Kesimpulannya, perlu adanya sinergi antara ormas dan Kemendikbud dalam menggerakkan program pendidikan di negeri ini. Terlebih ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah. Antara satu dengan yang lain seyogianya saling terbuka, saling melengkapi satu sama lain, bahu membahu, dan berusaha mencari kesepakatan sekaligus solusi atau jalan terbaik bersama. Wallahu alam bish-shawaab.
Identitas Penulis
*Penulis lepas, tulisannya tersebar di berbagai media, lokal hingga nasional.
_____________________
**Kolom merupakan Rubrik Opini LINTASJATIM.com terbuka untuk umum. Panjang naskah minimal 400 kata dan maksimal 2500 kata. Sertakan riwayat singkat dan foto diri terpisah dari naskah (tidak dimasukan Ms. Word).
**Naskah dikirim ke alamat e-mail: redaksilintasjatim@gmail.com
**Redaksi berhak menyeleksi tulisan serta mempublikasi atau tidak mempublikasi tulisan.