Menyelamatkan Pesantren dari Covid-19

Samsuriyanto, Dosen Studi Islam pada International Undergraduate Program, ITS Surabaya
Samsuriyanto, Dosen Studi Islam pada International Undergraduate Program, ITS Surabaya

Oleh
Samsuriyanto*

Banyak kasus konfirmasi positif, menandakan bahwa pesantren juga tidak bisa dianggap kebal kesehatan di tengah pandemi Covid-19 (Coronavirus Disease 2019). Di Tangerang, Provinsi Banten, terdapat lima pengajar pondok pesantren (ponpes) positif Covid-19 (www.liputan6.com/7/7/2020).

Bacaan Lainnya

Lalu di Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah, terdapat 6 keluarga pengasuh ponpes konfirmasi positif (regional.kompas.com/10/7/2020). Provinsi Jawa Timur menjadi daerah paling banyak menyumbang kasus positif ini sungguh mencemaskan, apalagi menjadi pusat ponpes dengan banyak santri di Nusantara.

Di Magetan, 43 santri Pondok Temporo konfirmasi positif (nasional.tempo.co/20/4/2020). Di Sumenep Madura, Santri Ponpes Annuqayah Positif Covid-19 (republika.co.id/22/6/2020). Di Ponorogo, Jumlah santri positif di Pondok Gontor bertambah hingga menjadi klaster baru (www.tribunnews.com/10/7/2020).

Kita juga tidak mengetahui sudah ada berapa santri yang harus memilih belajar di rumah – bukan karena tidak ada semangat – tetapi karena (mungkin) was-was dengan sistem keamanan di pesantren. Mengingat santri di pondok dari berbagai daerah, bahkan mungkin luar negeri. Belum lagi, ditambah dengan santri yang tidak memilih kembali, karena ekonomi orang tua yang semakin tidak bersahabat karena terdampak pandemi.

Menyelamatkan pendidikan pesantren, tentu membuat gemilang masa depan generasi muda Indonesia. Nasionalisme kuat para pengasuh dan santri dalam membela negara di masa lalu hingga hari ini tidak boleh ditinggalkan hanya karena tidak sedang dalam pemilihan umum (pemilu).

Jika banyak yang berdekatan dengan para pengasuh karena alasan tabarrukan (baca: mencari tambahan keberkahan hidup) padahal (mungkin) untuk meraih dukungan pemilu, lalu di saat pandemi, berapa banyak para politisi yang sudah menjabat untuk menghadiri pesantren guna memberikan dukungan moral dan finansial menggunakan anggaran negara ?

Langkah Pesantren

Jika bebas dari kunjungan orang luar, bisa saja di dalam lingkungan pesantren tidak menggunakan protokol kesehatan secara sempurna. Namun jika masih ada kontak langsung dengan tamu, maka harus ada peraturan lebih tegas agar bebas dari Covid-19.

Membatasi santri keluar pesantren dan menggunakan masker dalam setiap kondisi justru lebih aman. Tamu yang mendatangi harus menggunakan masker dan dijaga ketat, jika perlu ada surat keterangan sehat bebas Covid-19.

Di pesantren, satu kamar terdiri dari beberapa santri. Kamar mandi dapat digunakan oleh banyak santri serta terkadang ada cara makan berkelompok untuk menguatkan keakraban. Artinya, tradisi kekeluargaan pesantren tidak dapat dipisahkan dan sudah mengakar kuat dalam diri santri.

Membuat pedoman, bahwa tidak boleh ada kontak langsung antara pengunjung dengan santri untuk mencegah penularan Covid-19 juga pantas dilakukan dan perlu diapresiasi. Penulis juga menemukan banyak wali santri yang tidak menggunakan masker ketika melakukan kunjungan kepada putranya di pesantren.

Bagi pesantren yang melaksanakan Salat Jumat di luar bersama warga – karena tidak memiliki masjid – maka sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengadakan di lingkungan sendiri terutama untuk warga pondok.

Koperasi juga menjadi andalan yang perlu dibentuk, dihidupkan dan dikembangkan agar santri hanya belanja di lingkungan pesantren. Jika ada pondok yang hingga kini belum memiliki koperasi, sudah saatnya membuat – tidak hanya untuk menjaga kesehatan warga pesantren dari kontaminasi penyakit ini – tapi juga menyelamatkan ekonomi pondok.

Pesantren dianggap tempat yang teraman karena mobilitas santri terbatas, sebagaimana ditegaskan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy (www.liputan6.com/20/6/2020). Namun jika dibiarkan, maka khawatir akan menjadi ledakan besar konfirmasi positif.

Meringankan keamanan pesantren karena dianggap bebas dari kontaminasi virus ini, sama saja menjerumuskan ke dalam pintu kehancuran. Apa yang akan terjadi jika ada satu saja santri yang positif, sementara kehidupan pesantren yang tercampur-baur, santri cium tangan pengasuh dan atau aktivitas lain yang sudah menjadi tradisi. Maka pesantren akan menjadi klaster baru yang akan sulit dihentikan penyebarannya.

Warga pesantren sudah tentu banyak yang mengamalkan bacaan wirid agar selamat dari musibah sebagai kekuatan spiritual yang sudah mengakar. Namun di era pandemi, harus ada keseimbangan antara kekuatan doa dan usaha. Langkah spiritual saja tidak cukup tanpa diimbangi oleh upaya konkret mengatasi Covid-19.

Kharisma pengasuh pesantren bagi umat, tentu memiliki andil dalam mendukung upaya pemerintah di era kebiasaan baru. Peran mereka dengan menggunakan masker akan memberikan pengaruh bagi masyarakat untuk mentaati pemerintah dalam menjalani protokol kesehatan, minimal menggunakannya saat di keramaaian.

Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Lirboyo Kediri KH. Anwar Manshur dan KH. Abdullah Kafabihi Mahrus menggunakan face shield (pelindung wajah) serta menggunakan baju dan surban putih, sebagaimaa foto keduanya sudah viral di media sosial. Apalagi Ponpes yang dipimpin menjadi role model pesantren tangguh menghadapi pandemi Covid-19 (surabaya tribunnews.com/6/6/2020).

Pengasuh Ponpes Raudlatut Talibin Rembang, KH. Ahmad Mustofa Bisri melalui instagram pribadi s.kakung, memberikan foto sedang menggunakan masker serta memberikan caption “mentaati perintah Allah untuk ikhtiar bagi kebaikan bersama, aku memakai dan mengajak Anda memakai masker.”

Ketenangan yang diajarkan para pimpinan pondok juga menjadi vaksin, walaupun juga tetap menggunakan prinsip waspada. Setelah doa dan usaha, maka selanjutnya pasrah dan berpikir positif, bahwa Allah SWT pasti memberikan kehidupan terbaik kepada kita sesuai dengan rencana dan kehendak-Nya.

Peran Pemerintah

Pemerintah telah menyiapkan Rp. 2,36 triliun untuk menguatkan pendidikan pesantren dan keagamaan (www.merdeka.com/9/6/2020). Anggaran ini dapat dialihkan sebagai pencegahan Covid-19 yang berpusat pada pesantren.

Minimal satu pesantren terdapat satu dokter dan atau perawat yang menangani pencegahan pandemi ini, kita tidak dapat memprediksi hingga kapan akan berakhir, karena sampai sekarang vaksin pun belum ditemukan. Kita juga tidak memahami kondisi Covid-19 di tanah air, sudah memasuki masa awal, puncak atau berakhir. Secara realita, hingga sekarang jumlah kasus masih bertambah.  

Menurut www.hidayatullah.com (14/2/2020), terdapat total 18 juta santri dan 28 ribu pesantren di Indonesia. Artinya, hanya membutuhkan minimal 28 ribu tim medis yang menangani kesehatan pesantren terutama dalam mencegah Covid-19.

Sebagaimana yang dilansir oleh lifestyle.okezone.com (5/4/2019), pada tahun 2019 saja terdapat 12 ribu sarjana kedokteran dari 78 Fakultas Kedokteran di Indonesia.

Berdasarkan member.persi.or.id (25/4/2019) lulusan keperawatan membludak, sehingga disarankan praktik mandiri atau berkarir di luar negeri. Apakah rumah sakit dan puskesmas mampu menampung semua tim medis yang sudah dilantik tersebut?

Selain memberikan lapangan pekerjaan kepada mereka, juga menyelamatkan pesantren dari penyakit yang berasal dari Wuhan ini. Apalagi berdasar www.bbc.com (30/6/2020) anggaran Kementerian Kesehatan terealisasi 1,53% dari Rp. 75 triliun.

Jika pemerintah memberikan pelatihan kepada rakyat yang diistirahatkan oleh institusi tempat bekerja, maka juga perlu hadir dengan menyediakan sosialisasi secara daring atau menggunakan protokol kesehatan ketat kepada pengelola pesantren tentang pencegahan Covid-19 di era kebiasaan baru.

Langkah ini dapat diimplementasikan oleh Pemerintah Kota dan Kabupaten dengan koordinasi Pemerintah Provinsi di seluruh penjuru tanah air. Jika hadir dengan menyediakan rupiah untuk masyarakat yang dirumahkan oleh perusahaan, maka pemerintah harus lebih memperhatikan nasib pesantren.

Jangan sampai keuangan pencegahan pandemi ini dibebankan kepada pesantren apalagi kepada pengasuh, karena mereka telah mendidik generasi unggul yang kurang dapat menikmati istirahat secara leluasa seperti mayoritas rakyat Indonesia.

Selain menyediakan handsenitizer dan masker secara berkala, pemerintah juga hadir dengan rapid test gratis untuk pengasuh dan pengurus pesantren, apalagi untuk semua santri. Mengingat mereka (mungkin) diundang oleh umat untuk menghadiri acara dan kembali ke pondok untuk mendidik santri.

Sangat disayangkan jika ingin mengetahui kondisi kesehatan setelah berkumpul bersama masyarakat dengan tetap membayar sarana tes secara mandiri, padahal mereka sudah menyiapkan generasi cemerlang untuk kebangkitan umat dan negara. 

Bisa saja pesantren tidak terlalu mengharap dan bersifat mandiri dari tunjangan pemerintah dalam menangani Covid-19. Namun pemerintah harus benar-benar hadir, bukan karena pesantren dianggap membutuhkan – tetapi sebagai bentuk apresiasi terhadap kontribusi besar yang telah diberikan sejak masa perjuangan kemerdekaan.

Pengasuh pesantren menjadi nahkoda pengelolaan proses transmisi keilmuan keagamaan dan moral yang dibutuhkan umat dan rakyat. Sebab tidak dapat dipungkiri, hingga saat ini model pendidikan yang telah melahirkan banyak orang jujur di negeri ini terus menyinari dengan memberikan kontribusi konkret.

Presiden RI ke-4 KH. Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden sekarang KH. Ma’ruf Amin adalah produk didikan pesantren. Maka ingatlah kepada pesantren.

Identitas Penulis
*Penulis adalah Dosen Studi Islam pada International Undergraduate Program, ITS Surabaya.

_____________________

**Kolom merupakan Rubrik Opini LINTASJATIM.com terbuka untuk umum. Panjang naskah minimal 400 kata dan maksimal 2500 kata. Sertakan riwayat singkat dan foto diri terpisah dari naskah (tidak dimasukan Ms. Word).
**Naskah dikirim ke alamat e-mail: redaksilintasjatim@gmail.com
**Redaksi berhak menyeleksi tulisan serta mempublikasi atau tidak mempublikasi tulisan.

Pos terkait