Pejabat Amoral Miskin Nurani

Chusnatul Jannah-Pejabat Amoral Miskin Nurani
Chusnatul Jannah-Pejabat Amoral Miskin Nurani

Oleh
Chusnatul Jannah*

Malang benar nasib MD. Siswi kelas VIII SMP di Gresik menjadi korban pemerkosaan tetangganya berusia 50 tahun. Tersangka memang sudah ditangkap pihak kepolisian. Namun, luka menganga yang ditinggalkan menjadi jejak yang tak mudah terhapus dalam ingatan. Kini, korban sedang menanti kelahiran anak dari hasil pencabulan itu.

Bacaan Lainnya

Tak hanya pelaku yang dilaporkan, anggota DPRD Kabupaten Gresik juga ikut dilaporkan ke Badan Kehormatan (BK). Nur Hudi dilaporkan ke BK DPRD Gresik lantaran menginisiasi rencana penyogokan atas kasus persetubuhan. Pihak pelapor kala itu adalah Chandra, kakak MD.

Namun, proses sidang Nur Hudi di BK panjang hingga akhirnya keluarga korban tak sanggup lagi meneruskan dan ingin mencabut laporan tersebut. Sementara itu, Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD Gresik, Fakih Usman mengaku sejak pagi telah menerima laporan dari pihak pelapor yang merupakan kakak dari korban pencabulan di bawah umur oleh tersangka Sugianto berhalangan hadir.

Kasus ini diwarnai upaya penyogokan uang oleh anggota DPRD Gresik, Nur Hudi. Nur Hudi pun mendatangi rumah korban dan menawarkan uang sogokan Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar agar laporan korban di polisi dicabut. (Tribunnews.com, 6/7/2020)

Hilang sudah rasa moral pejabat hari ini. Dimana akal sehat dan nurani saat berpikir menyogok keluarga korban agar menarik laporan ke pelaku pencabulan? Bukannya menunjukkan empati, malah menambah sakit hati. Inikah gambaran wakil rakyat pilihan demokrasi? Suap menyuap menjadi tradisi. Dihamba uang, nurani mengambang.

Sebagai seorang pejabat apalagi wakil rakyat, semestinya ia menjadi penyambung aspirasi rakyat, bukan penjahat. Sayangnya, tugas mendasar itu justru kalah bila berjumpa dengan uang. Mereka menjadi gelap mata dan menghalalkan segala cara.

Uang menjelma sebagai hal yang dipuja. Dengan uang perkara beres. Mental-mental korup semacam ini tumbuh subur di lingkaran demokrasi. Tak heran bila wajah-wajah koruptor dihiasi penghuni gedung senayan. Disitulah sumber korupsi terjadi. Persekongkolan kepentingan menjadi hal yang tak terelakkan. Ada uang, proyek lancar. Asalkan pelicinnya uang, semua bisa diselesaikan.

Sistem kapitalis sekuler memang berkontribusi besar mendidik pejabat korup dan amoral. Ditambah pemerintahan demokrasi yang turut berpartisipasi membentuk lingkungan politik oligarki. Merasa tinggi jabatan, lalu sesuka hati bertingkah. Itulah yang dirasakan keluarga MD. Sudahlah anaknya menjadi korban pemerkosaan, masih harus menanggung tekanan pejabat sok kuasa.

Kasus MD hanyalah setitik yang muncul di permukaan. Mungkin saja masih banyak kasus-kasus serupa tak terpublikasi media. Harusnya hal ini menjadi pembelajaran bagi kita. Hidup dalam habitat demokrasi tak ada untungnya. Politiknya menipu, realisasinya bikin rakyat jenuh, dan sikap pejabatnya belagu.

Kedudukan tak dibawa mati. Meski keluarga MD tergolong tak berkecukupan. Namun, mereka masih memiliki harga diri. Pejabat yang main sogok demi membela pelaku pencabulan tak ubahnya pejabat amoral miskin nurani. Status sosial menjadi ajang merendahkan pihak lemah.

Harusnya kita menyadari. Sistem hari ini tak memberi keamanan dan perlindungan hakiki. Anak-anak rentan menjadi korban pelecehan seksual. Orang dewasa juga rentan terpengaruh lingkungan yang membangkitkan syahwatnya.

Butuh peran negara yang menberi jaminan, pengawasan, serta sanksi tegas. Agar tak terulang kembali kasus semacam ini. Agar pejabat juga tahu diri bahwa ia dipilih rakyat untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Bukan menjadi mata duitan.

Identitas Penulis
*Penulis adalah Pengajar serta Anggota Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

_____________________

**Kolom merupakan Rubrik Opini LINTASJATIM.com terbuka untuk umum. Panjang naskah minimal 400 kata dan maksimal 2500 kata. Sertakan riwayat singkat dan foto diri terpisah dari naskah (tidak dimasukan Ms. Word).
**Naskah dikirim ke alamat e-mail: redaksilintasjatim@gmail.com
**Redaksi berhak menyeleksi tulisan serta mempublikasi atau tidak mempublikasi tulisan.

Pos terkait