Pentingnya Belajar Nahwu-Sharaf Menurut KH. Marzuqi Mustamar

KH. Marzuki Mustamar

Oleh
M. Najib Tsauri*

Tepat pada Sabtu, 13 Juni 2020, Pengurus Pusat Ikatan Keluarga Besar Alumni (IKBAL) Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah (PP. Tabah) Kranji Paciran Lamongan Jawa Timur mengadakan acara Halal Bi Halal dan Ijazah Kubro secara virtual atau daring. Acara ini menghadirkan Gubernur Jawa Timur Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa, M.Si (terwakili), KH. Marzuqi Mustamar (Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur), KH. Moh. Nashrullah Baqir (Pengasuh PP. Tarbiyatut Tholabah), Drs. H. Fathur Rahman (Ketua Yayasan Tarbiyatut Tholabah), KH. Salim Azhar (Rais Syuriah PCNU Lamongan dan Pengasuh Pondok Pesantren. Roudlotut Thullab Sendangduwur Paciran Lamongan), Prof. Dr. H. Ma’sum Nuralim, M.Ag (Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya), dan para alumni yang tersebar di penjuru dunia.

Bacaan Lainnya

Dalam kesempatan itu, KH. Marzuqi Mustamar, Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur yang didaulat menyampaikan wejangan Halal Bi Halal menuturkan bahwa pilihan nyantri di pesantren salaf, seperti di Tarbiyatut Tholabah adalah pilihan. Karena pada faktanya untuk mendapatkan akurasi, validitas, autentisitas, dan obyektivitas ilmu salah satu caranya harus ke Pesantren.

Beliau menuturkan, seorang santri sebelum mengaji kitab kuning ia harus benar-benar mampu mendalami ilmu alat (nahwu-sharaf, balaghah, alfiyah, al-maknun, dan seterusnya) terlebih dahulu untuk dapat menguasai. Hal ini penting, karena banyak kalimat-kalimat al-Qur’an maupun hadis yang sulit dipahami lantaran belum menguasai ilmu alat. Jika tidak memahaminya lalu hanya bertumpu pada terjamahannya maka bisa mati konyol. KH. Marzuqi Mustamar mencontohkan dalam sebuah hadis;

Bepergian Untuk Niat Ibadah Kecuali Tiga Masjid

لا تُشَدُّ الرِّحالُ إلا إلى ثلاثةِ مساجد

“dilarang mengadakan perjalanan jauh kecuali menuju tiga masjid (masjid Nabawi, Masjidil Haram, Masjidil Aqsa).”

Secara hafiah, hadis ini melarang pergi jauh kecuali menuju ke tiga masjid itu. Makanya terkadang orang-orang tertentu berani memanfaatkan kondisi masyarakat muslim yang tidak memahami nahwu-sharaf di mana mereka hanya mengacu pada terjemah; maka mereka mengatakan, ‘tidak boleh atau mengharamkan pergi berziarah kubur –wali songo misalnya–  kecuali menuju tiga masjid itu, karena hadis itu mengatakan demikian.’

Jika dimaknai secara hafiah hadis tersebut, maka kurang tepat. Kurang tepatnya bagaimana? Misalnya ketika seseorang hendak pergi ke Mesir, kuliah ke Al-Azhar, dan atau seseorang diundang dakwah/ceramah ke Australia tiba-tiba diharamkan kecuali menuju ke tiga masjid itu. Hal ini tidak sesuai dengan kaidah ilmu nahwu sebagaimana dalam ungkapan Nadzam Alfiyah Ibnu Malik bab istisnā’:

مَا اسْتَثْنَتْ إلاَّ مَعْ تَمَامٍ يَنْتَصِبْ وَبَعْدَ نَفْي أَوْ كَنَفْي انْتُخِبْ

“lafadz mustatsna oleh illa pada kalam tam hukumnya nashab. (Selain) jatuh sesudah nafi atau syibhu Nafi, dipilihlah hukum …”

إِتْبَاعُ مَا اتَّصَلَ وَانْصِبْ مَا انْقَطَعْ وَعَنْ تَمِيم فِيْهِ إِبْدَالٌ وَقَعْ

“Tabi’ (jadi badal) bagi yang mustatsna muttashil dan harus nashab! bagi yang mustatsna munqathi’. Menurut logat Bani Tamim, tabi’ badal juga berlaku pada yang mustatsna munqathi.”

Apa itu istitsna muttashil? Istisna yang mana mustatsnanya harus sejenis dengan mustatsna minhu. Sebagai dalam contoh; 1) Para guru datang kecuali pak Muhammad. Pak Muhammad adalah bagian dari guru. Itu yang dinamakan dengan istitsna muttashil, mustatsnanya sejenis dari mustatsna minhu. 2) Para siswa datang kecuali Ahmad. Ahmad adalah bagian dari para siswa itu. Karena istitsna itu pada dasarnya harus muttashil maka seperti pada ungkapan hadis Nabi di atas.

Dari ungkapan hadis itu, sebetulnya ada mustatsna minhu yang dibuang, dan karena istitsna itu muttashil maka lazim al-nuqaddir ‘an yaquna mustatsna minhu jinsan li-mustatsna. Karena mustatsna itu harus sejenis dengan mustatsna minhu maka terkait dengan hadis nabi tadi seharusnya seseorang itu menakdirkannya seperti ini; ‘dilarang ke pergi jauh ke masjid mana pun kecuali menuju tiga masjid itu.’ Jadi hadis ini konteksnya adalah tentang masjid, maka tidak boleh terlalu jauh pemahamannya jika pada akhirnya mengharamkan ziarah –wali songo misalnya– atau haram pergi ke mana-mana, karena tidak ada hubungannya dengan itu.

Lebih jauh lagi, KH. Marzuqi Mustamar menjelaskan bahwa hadis tersebut mustatsnanya menyebutkan kata masjid dan mustatsna minhunya juga menyebut kata masjid. Sangat rasional jika Nabi melarang pergi jauh ke masjid mana pun untuk berjamaah kecuali menuju tiga masjid itu.

Jika tujuan atau objek yang diketahuinya (al-Ma’qul) adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Maka dapat dikatakan semua masjid selain tiga masjid itu nilai pahalanya sama. Mau jamaah di masjid New York, Kairo ataupun di Australia pun nilai pahalanya tetap (27) dua puluh tujuh. Makanya nabi menegaskan, tidak perlu jika tujuan hanya berjamaah harus pergi jauh-jauh ke masjid New York, Kairo ataupun Australia, toh nilai pahalanya sama-sama tetap (27) dua puluh tujuh.

Barulah, jika yang dikecualikan adalah pergi ke masjid Nabawi untuk berjamaah misalnya, jauh-jauh dari Indonesia ke Madinah seseorang itu tidak akan rugi, karena Allah melipatgandakan pahala seribu kali. Jika seseorang itu pergi jauh-jauh dari Indonesia ke Makkah lalu kembali, maka ia ditambahkan ganjaran pahala seratus ribu kali.

Dari contoh di atas, apabila seseorang dapat memahami ilmu alat maka ketika ia dibenturkan dengan hadis itu (tentang masjid), maka seseorang itu tidak akan berani menghubungkan ke perkara ziarah kubur atau ke perkara lain. Maka dari sini, perlunya belajar ke pesantren adalah jika seorang santri hendak mengaji kitab kuning mereka terlebih dahulu membekali dengan ilmu alat, sehingga dengan ilmu itu mereka dapat memahami sebuah teks.

Ketentuan Masa Iddah Perempuan

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru (QS. al-Baqarah [2]: 228).

Yang dimaksud tiga kali quru itu tiga kali suci atau tiga kali haid? Jika dimaknai secara bahasa, maka bisa dimaknai tiga kali suci juga bisa dimaknai tiga kali haid. KH. Marzuqi Mustamar mengutip pendapat Imam al-Syafi’i yang lebih memilih memaknai tiga kali suci. Mengapa demikian?

Hal ini juga tidak lepas dari nahwu-sharaf. Karena sebagaimana hukum ‘adad-ma’dud untuk hitungan 3 sampai 10 itu ma’dudnya berbalikan dengan ‘adadnya. Kalau ma’dudnya bentuk isim mudzakkar maka ‘adadnya bentuk isim muannats, kalau ma’dudnya bentuk isim muannats maka ‘adadnya bentuk isim mudzakkar. Sebagaimana pada kata “ثلاثة رجال” tsalahtsatu rijal tidak boleh dibaca “ثلاث رجال” tsalatsu rijal atau “خمسة رجال” khamsatu rijal tidak boleh dibaca “خمس رجال” khamsu rizal.

Sementara kalimat ayat itu menyebutkan “ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ” tsalatsata quru, terdapat huruf ta’. Jika yang dikehendaki struktur kata tsalatsa memakai ta’ berarti quru di sini bentuk isim mudzakkar. Sebab kalau quru dianggap mudzakkar, maka tsalatsa di sini tidak memakai ta’, akan tetapi dalam al-Qur’an memakai ta’. Oleh karena itu, perlu dipastikan quru di sini adalah quru yang bentuk isim mudzakkar.

Dengan demikian, menurut Imam al-Syafi’i, supaya quru di sini isim mudzakkar karena ‘adadnya memakai kata tsalasata, maka tafsir quru di sini disebut dengan qar’in bi ma’na tuhrin yang mudzakkar, bukan qar’in bi ma’na haidhatin yang bentuk isimnya adalah muannats. Sebab kalau disebut qar’in bi ma’na haidhatin, maka struktur kalimat yang benar seharusnya tsalasa quru, bukan tsalasata quru.

KH. Marzuqi Mustamar mengungkapkan keberanian Imam al-Syafi’i ambil keputusan dengan memaknai quru (yang berarti suci), karena Imam al-Syafi’i memahami nahwu-sharaf bahwa kata tsalatsata bentuk isim muannats berarti qurunya bentuk isim mudzakkar.

KH. Marzuqi Mustamar mengakhiri pembahasannya dengan nasehat, di mana belajar nahwu-sharaf itu sangat penting. Oleh karena itu, belajar di pesantren –insyallah–  akan mendapat makna dan maksud yang benar. Kenapa harus di Pesantren?

Pertama, santri akan dibekali dengan ilmu nahwu-sharaf, dengan nahwu-sharaf santri dapat memahami al-Qur’an dan sunnah lebih komprehensif.

Kedua, sanad keilmuan para kiai di pesantren tidak diragukan lagi. Para kiai lebih mengerti alfadz ghariba yang ada dalam al-Qur’an dan hadis bila dibandingkan orang-orang Arab sekarang ini yang sudah banyak terpengaruh modernitas. Justru kebanyakan para kiai di Nusantara ketika mengaji kitab kuning tanpa batuan kamus satu pun sudah mampu melalap habis kalimat-kalimat ghariba yang ada di dalam kitab-kitab sejenisnya.

Ketiga, para santri setiap hari mengetahui betul apa yang dilakukan atau diamalkan oleh kiainya. Selain santri mendapatkan ilmu, para santri juga dapat bukti bahwasanya kiainya tidak pernah khianat atau ingkar janji. Wallahu A’lam!

Identitas Penulis
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan Jawa Timur. Pengelola/Editor Jurnal Refleksi dan Jurnal Ilmu Ushuluddin Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

_____________________

**Kolom merupakan Rubrik Opini LINTASJATIM.com terbuka untuk umum. Panjang naskah minimal 400 kata dan maksimal 2500 kata. Sertakan riwayat singkat dan foto diri terpisah dari naskah (tidak dimasukan Ms. Word).
**Naskah dikirim ke alamat e-mail: redaksilintasjatim@gmail.com
**Redaksi berhak menyeleksi tulisan serta mempublikasi atau tidak mempublikasi tulisan.

Pos terkait